Calon Dokter Yang Jago Nyanyi
FEMINIST – MENGABDI di daerah pedalaman dan terisolir, mungkin seperti momok bagi mereka yang memiliki profesi sebagai dokter atau tenaga pendidik. Kesan yang selalu terbenak hampir sebagian orang jika daerah pedalaman selalu identik dengan sulitnya akses jaringan telekomunikasi dan hambatan transportasi untuk menjangkau daerah-daerah terdekat sekalipun.
Tapi sepertinya hal itu tidak terbenam dalam diri, Eli Fastiani. Dara manis kelahiran, Tarakan 2 April 1997 yang mengenyam pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA) Jakarta, justru membulatkan tekad akan memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat yang berada di daerah-daerah pedalaman jika kelak bertugas.
“Masyarakat di daerah terpencil memiliki hak sama untuk mendapatkan layanan kesehatan serupa yang didapatkan masyarakat perkotaan. Walaupun secara geografis tempat bermukim mereka sulit untuk dijangkau,”. Begitu Eli biasa disapa menegaskan tentang kepeduliannya terhadap layanan kesehatan untuk masyarakat yang berada di daerah terpencil
Besar keinginan Eli untuk menjadi seorang dokter, seperti yang dituturkannya, justru muncul ketika melihat kondisi dunia kesehatan di beberapa daerah pedalaman di Kabupaten Nunukan. Banyak tenaga medis yang enggan mengabdi di daerah pedalaman dengan berbagai alasan. Di sisi lain, masyarakat begitu mengharapkan adanya tenaga medis yang siap memberikan layanan terbaiknya.
“Saya sangat prihatin jika mendengar kabar masih ada masyarakat yang berobat secara tradisional padahal yang dialami adalah penyakit medis,” kata Eli.
Belum lagi tentang kabar masih banyak masyarakat yang bermukim di wilayah perbatasan akhirnya terpaksa berobat hingga ke negeri jiran Malaysia akibat kendala layanan kesehatan yang dibutuhkan di desa mereka. Kedua alasan itu dikatakan Eli menjadi pemicu semangatnya dalam menyelesaikan program pendidikannya saat ini.
Hal lain, lingkungan keluarga yang memang memiliki kepedulian sosial tinggi dengan sekitarnya telah mengajarkan dia untuk memberi perhatian terhadap orang lain. Terutama pada masyarakat di tingkat strata terbawah.
“Pelajaran berharga saya dapatkan dari lingkungan keluarga adalah menolong orang tanpa pamrih jauh lebih baik. Bahkan hanya sekedar sebuah senyuman yang tulus saja bisa membuat orang merasa lebih baik,” ujarnya.
Mahasiswi yang tengah menempuh pendidikan kedokteran ini juga percaya, dorongan dari doa-doa orang yang pernah ia tolong merupakan kekuatannya sejauh ini untuk terus melayani masyarakat.