Menguatkan Toleransi di Tarakan: Dari Sarasehan Kebhinekaan hingga Praktik Sosial

TARAKAN – Kerukunan antarumat beragama di Tarakan tak sekadar jargon, melainkan sebuah komitmen yang terus dipupuk. Hal ini terlihat dari gelaran Sarasehan Kebhinekaan yang mengusung tema “Tantangan Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi Negara dan Sosial”.
Acara ini bukan hanya pertemuan formal, tetapi juga ajang strategis untuk memperkuat dialog, saling memahami, dan menjaga harmoni sosial di tengah keberagaman.
Kegiatan ini secara lugas menunjukkan bahwa upaya menjaga kerukunan adalah tanggung jawab bersama. Dihadiri berbagai pihak, mulai dari perwakilan Kementerian Agama, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Kesbangpol Kaltara, hingga Densus 88 dan puluhan mahasiswa, sarasehan ini menjadi bukti nyata sinergi lintas elemen.
Kehadiran berbagai pihak ini menegaskan bahwa kebhinekaan di Indonesia adalah kekayaan yang harus dilindungi dan dirawat bersama.
Diskusi dalam sarasehan ini jauh melampaui batas-batas formal. Narasumber dari berbagai latar belakang, termasuk tokoh agama seperti Pdt. Dr. Yance Pomantaw dan Ust. Syamsi Sarman, serta perwakilan Densus 88 dan Kepolisian, berbagi perspektif yang saling melengkapi.
Kehadiran mereka menunjukkan bahwa dialog tentang kebebasan beragama tak bisa hanya dilihat dari satu sisi. Diperlukan pemahaman dari sudut pandang konstitusi, teologi, hingga keamanan negara untuk membangun kerukunan yang kokoh.
Dalam sarasehan ini, para narasumber menyoroti bahwa kebebasan beragama adalah hak yang dijamin konstitusi, tetapi pelaksanaannya juga harus diimbangi dengan tanggung jawab sosial.
Hal ini menekankan pentingnya peran masyarakat dalam menjaga agar kebebasan tersebut tidak disalahgunakan atau menjadi pemicu perpecahan. Para peserta diajak untuk tidak mudah terprovokasi dan lebih mengedepankan akal sehat serta dialog.
Kepala Kementerian Agama Tarakan secara khusus menekankan pentingnya ruang dialog seperti sarasehan ini. Menurutnya, acara ini menjadi wadah strategis untuk memperkuat semangat persaudaraan lintas iman.
Komitmen negara untuk hadir dalam urusan keagamaan ditegaskan sebagai upaya untuk memastikan bahwa setiap warga negara dapat menjalankan keyakinannya tanpa hambatan, namun tetap dalam koridor hukum dan menjaga kerukunan.
Sementara itu, Ust. Syamsi Sarman dari FKUB Tarakan, yang lebih fokus pada aspek kerukunan, mengajak para peserta untuk membangun kesadaran bersama. Ia mengingatkan bahwa materi kerukunan dan persaudaraan sosial adalah fondasi yang harus diperkuat, terutama di kalangan generasi muda.
“Pandangan ini menunjukkan bahwa kerukunan bukan hanya tentang hukum dan kebijakan, tetapi juga tentang hati dan kesadaran bersama,” ulasanya.
Diskusi juga mengungkap tantangan nyata yang dihadapi masyarakat dalam menjaga kerukunan. Minimnya dialog antarumat dan faktor ketidakadilan sosial-ekonomi dinilai sebagai pemicu ketegangan. Hal ini menjadi pengingat bahwa kerukunan tak bisa hanya dibangun dari ruang-ruang dialog, tetapi juga perlu ditopang oleh keadilan sosial di segala bidang.
Namun, tantangan tersebut bukanlah akhir dari segalanya. Para narasumber menawarkan solusi yang konkret, termasuk penegakan hukum yang adil, penguatan pendidikan multikultural, serta peningkatan intensitas dialog lintas iman.
Solusi ini mencerminkan pemahaman bahwa untuk membangun kerukunan yang berkelanjutan, diperlukan pendekatan yang holistik, tidak hanya di level kebijakan tetapi juga di tingkat akar rumput.
Pdt. Dr. Yance Pomantaw, dari Majelis Umat Kristen Kota Tarakan, menyoroti pentingnya dialog sebagai jembatan untuk mempersempit jarak antarumat beragama. Ia juga mengingatkan bahwa keadilan sosial menjadi faktor krusial dalam menjaga perdamaian.
“Kerukunan sejati berakar pada nilai-nilai keadilan dan kasih yang universal, yang diajarkan oleh setiap agama,” terangnga.
Dari perspektif teologis, setiap agama pada dasarnya mengajarkan nilai-nilai luhur seperti kasih, perdamaian, dan penghargaan terhadap sesama. Sarasehan ini mengingatkan bahwa kehidupan beragama bukan hanya tentang ritual dan kewajiban konstitusional, tetapi juga tentang panggilan iman untuk membangun persaudaraan.
Dia juga mengutip, Kitab Roma 12:18 yang berbunyi, “Hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang,” menjadi refleksi universal bagi semua umat beragama.
Secara keseluruhan, sarasehan ini menegaskan bahwa kebebasan beragama adalah hak yang dijamin konstitusi, sekaligus menjadi tanggung jawab sosial seluruh elemen bangsa. Keberagaman bukanlah alasan untuk terpecah, melainkan kekuatan untuk saling melengkapi.
Indonesia, dengan segala keragamannya, adalah rumah bersama di mana setiap individu memiliki peran untuk menjaga perdamaian.
Pada akhirnya, Sarasehan Kebhinekaan ini diharapkan dapat menjadi momentum untuk memperkuat sinergi antara tokoh agama, aparat keamanan, pemuda, dan masyarakat.
Dengan semangat toleransi dan dialog yang terus digalakkan, Tarakan dan Kalimantan Utara dapat terus menjadi contoh nyata bagi daerah lain tentang bagaimana merawat perdamaian dan kerukunan di tengah keberagaman. (*)