Nunukan

Tinggi, Kasus Kematian Bayi di Nunukan

NUNUKAN –  Permasalahan krusial kesehatan di wilayah perbatasan dibeberkan oleh dr. Sholeh Rauf, SpA., M.Kes., beberapa saat usai dirinya dilantik sebagai Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Nunukan, Sabtu (30.10/2021).

IDI Cabang Nunukan yang telah terbentuk sejak 19 tahun lalu dituntut mampu meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di wilayah ini. Namun pada sisi lain jumlah tenaga dokter yang tersedia belum ideal.

Dikatakannya, Kabupaten Nunukan saat ini baru memiliki tenaga 98 orang tenaga dokter.

Rinciannya, sebanyak 26 dokter spesialis, 17 dokter umum, 30 dokter di Puskesmas, 20 dokter berada di perusahaan dan 3 orang dokter praktek.

“Ada juga di Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) dan sebagiannya lagi di Dinas Kesehatan,” terang Sholeh Rauf.

Persoalan kesehatan nasional yang juga menjadi atensi di Nunukan, adalah  angka kematian ibu dan anak yang masih terbilang tinggi. Dua kabupaten kota di Kalimantan Utara yang menjadi Lokasi Khusus (Lokus) kematian bayi tertinggi di Indonesia, selain Bulungan adalah Nunukan.

Di Nunukan, Lanjutnya, jumlah bayi lahir tiap tahunnya berkisar antara 3 sampai 4 ribu jiwa. Data di lapangan, pada tahun 2020 ada 30 kasus kematian bayi. Sedangkan pada pada tahun 2021, hingga pada bulan Oktober sudah mencapai angka 25 kasus.

Padahal, sesuai target Kementrian Kesehatan dalam upaya penyelamatan ibu dan bayi, hanya satu perseribu yang boleh meninggal.

Beberapa faktor penyebab angka kematian ibu dan bayi di Nunukan meningkat, masih seperti dikatakan Sholeh Rauf, kondisi geografis yang kurang menguntungkan, jumlah dokter pada setiap Puskesmas masih terbatas serta soal kualitas dokternya sendiri.

“Solusinya, harus bersinergi dengan Pemerintah Daerah. IDI tidak punya cukup kekuatan untuk mengolah potensi yang ada. Pemerintah lah yang tentunya punya kekuatan mengolahnya,” terang Sholeh Rauf.

Ditambahkan, potensi tenaga dokter yang ada saat ini harus dioptimalkan agar tuntutan masyarakat dalam memaksimalkan pelayanan kesehatan bisa tercapai.

Status RSUD Nunukan juga harus dinaikkan menjadi  Rumah Sakit tipe B agar tidak ada lagi rujukan pasien ke Tarakan, Balikpapan atau bahkan ke Tawau.

Karena pada fakta, proses pasien dari luar Nunukan, seperti di Sebatik butuh proses paling cepat 2-3 jam untuk dirujuk ke Nunukan, sementara bayi yang lahir dalam kondisi asfiksia (sesak) itu, rujukannya  tidak boleh lebih dari satu jam.

“Keterlambatan sering terjadi pada proses evakuasi pasien akibat kendala transportasi. Belum lagi jika bayi pasien berasal dari Kecamatan  Sebuku atau Mansalong serta beberapa wilayah lain yang membutuhkan waktu sekitar 6 jam untuk pross evakuasi.

Penyebab lainnya, masih ada Puskesmas yang hanya memiliki satu tenaga dokter. Akibatnya, sisi pelayanan yang dilakukan tidak bisa maksimal.

Ditambahkan, persoalan lain terkait sarana dan prasarana, banyak yang  belum memenuhi standar khusus untuk pelayanan bayi dan anak.  (DEVY/DIKSIPRO).

Komentar

Related Articles

Back to top button