Nunukan

Solusi Atasi Limbah Botol Plastik di Nunukan

PT. Pertamina EP Tarakan Berikan Mesin Cetak Bola Pelampung

NUNUKAN – Awal Oktober 2022 lalu, Bank Sampah Karya Bersama di Kelurahan Tanjung harapan, Kecamatan Nunukan Selatan, berhasil mengharumkan nama Kabupaten Nunukan setelah berhasil menjadi Juara I Kategori Inovasi Masyarakat, pada Lomba Inovasi Daerah Provinsi Kalimantan Utara.

Keberhasilan itu setelah para juri lomba menilai dan memberi angka tertinggi untuk bola pelampung plastik yang diproduksi oleh Bank Sampah Karya Bersama yang ada Kabupaten di Nunukan.

Pembuatan bola plastik yang dimanfaatkan untuk pelampung pondasi bentangan tali usaha rumput laut tersebut merupakan Program Aliansi Kerja Bebas Sampah (Akar Basah) Pelampung Rumput Laut Ramah Lingkungan dari Bank Sampah Karya Bersama.

Sedangkan lomba yang digelar untuk tujuan memacu sekaligus memotivasi perangkat daerah maupun masyarakat umum dalam meningkatkan kreativitas dan inovasi sesuai karakteristik masalah serta kebutuhan masyarakat di daerah tersebut diselenggarakan oleh Bappeda & Litbang Provinsi Kalimantan Utara.

Apa dan bagaimana sebenarnya bola pelampung plastik produksi Bank Sampah Karya Bersama yang beroperasi di Kelurahan Tanjung Harapan, Kecamatan Nunukan Selatan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara ini bisa menjadi sebuah inovasi terbaik dibanding peserta lomba lainnya yang menjadi kompetitor dalam ajang tersebut. 

Penanggungjawab pengelolaan daur ulang sampah plastik di Bank Sampah Karya Bersama, Andi Masrur mengatakan pembuatan bola pelampung plastik dinilai sebagai solusi dan inovasi cemerlang dalam mengatasi persoalan sampah plastik di Nunukan yang dari waktu ke waktu menunjukkan angka yang terus meningkat.

Problem sampah botol plastik bekas kemasan minuman di Kabupaten Nunukan, terutama di Pulau Nunukan dan Pulau Sebatik, kata Masrur, belakangan menjadi persoalan yang semakin serius seiring berkembangnya usaha pertanian budidaya rumput laut. Karena pada usaha ini, para petani menggunakan botol plastik bekas sebagai pelampung tali bentangan rumput laut yang penggunaanya dalam waktu tergolong singkat, sebelum akhirnya dibuang dan menjadi limbah.

Apalagi diketahui bahwa botol plastik bekas pakai tersebut merupakan limbah anorganik berwujud padat dan sulit terurai, kata Masrur, jadilah kebanyakan bibir pantai di Pulau Nunukan dan Pulau Sebatik menyuguhkan pemandangan yang tidak sedap di mata. Kotor dan tercemar.

Tumpukan sampah botol plastik bekas yang jumlahnya terus meningkat dari waktu ke waktu dan semakin mengotori bibir pantai itu tidak terbantahkan merupakan bekas pakai petani rumput laut pada usaha budidaya yang dilakukan, yang dibuang sembarangan setelah tidak lagi dapat digunakan sebagai pelampung tali bentangan.

“Selaku kelompok yang selama ini dikenal menangani masalah daur ulang barang limbah plastik, kondisi bibir pantai yang dipenuhi botol plastik bekas itu tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi Bank Sampah Karya Bersama untuk mengatasinya,” kata Masrur.

Hingga akhirnya seperti kata pepatah Pucuk Dicinta Ulam pun Tiba, ketika PT Pertamina EP Tarakan mencari kelompok binaan yang akan didampingi dalam melakukan kegiatan yang dapat mengatasi permasalah sampah botol plastik bekas yang semakin memprihatinkan di Nunukan.

Programnya adalah menjadikan sampah botol plastik yang telah menjadi limbah tersebut dapat didaur ulang menjadi barang baru yang dapat digunakan secara massal. Apalagi bisa memberikan keuntungan secara materi pada masyarakat secara umum.

“Hingga akhirnya disepakati untuk memproduksi pelampung yang memang dibutuhkan dalam mendukung pekerjaan usaha budidaya rumput laut dengan bahan baku dari limbah botol plastik bekas yang sudah dibuang dampak masalah sampah di daerah ini.  

Diakui Masrur, sejak awal pihak Bank Sampah sudah optimis dengan produk bola pelampung yang mereka produksi akan dibutuhkan oleh petani budidaya rumput laut. Perkiraan itu tentu saja didasari fakta selama ini, pelampung dari botol plastik bekas sangat dicari bahkan ada yang mendatangkannya dari luar daerah secara besar-besaran dan laku terjual di Nunukan.

Padahal, lanjut Masrur, masa penggunaan botol plastik bekas itu, sebagai pengapung tali bentangan rumput laut, tidak akan bertahan lama. Namun karena memang dibutuhkan, tetap saja habis terjual dalam waktu yang cukup singkat.  

Benar saja, setelah diproduksi, kelompok Bank Sampah Karya Bersama tidak membutuhkan waktu lama untuk memperkenalkan bola pelampung plastik yang mereka produksi kepada para pembudidaya rumput laut. Dimulai dari beberapa orang petani yang mencoba dan membuktikan produk tersebut lebih baik, permintaan bola pelampung dari petani budidaya rumput laut terus berdatangan.

Perlahan, petani budidaya rumput laut mulai melirik untuk menggunakan bola pelampung plastik produksi Bank Sampah Karya Bersama menggantikan rakitan beberapa botol plastik bekas yang selama ini dijadikan pelampung pondasi.

“Hanya sekitar tiga bulan waktu efektif yang dibutuhkan untuk memperkenalkan atau menyosialisasikan bola pelampung kepada masyarakat. Bulan keempat kami sudah kewalahan karena ‘kebanjiran’ pesanan. Bahkan ada yang lebih dulu titip uang untuk membeli padahal barangnya belum diproduksi,” kata Masrur lagi.

Kewalahan ternyata tidak hanya pada memenuhi permintaan konsumen yang secepatnya ingin menggunakan bola pelampung plastik. Tingginya permintaan pasar juga membuat Bank Sampah Karya Bersama mulai mengalami keterbatasan pengadaan bahan bakunya. Yakni bahan plastik dengan material High Density Polyethylene (HDPE) yang cenderung keras dan kaku.

“Sekarang kami mencari plastik dengan kriteria seperti itu, sampai ke luar darah. Harga beli kami kepada pengumpul juga lebih baik dari sebelumnya ketika bahan plastik dengan kandungan HDPE belum terlalu dibutuhkan,” kata pria yang mengaku sangat berpengalaman dalam pengolahan daur ulang plastik bekas ini.    

Direktur Bank Sampah Karya Bersama, Habir memastikan meningkatnya antusias para petani rumput laut di Nunukan yang beralih menggunakan bola pelampung plastik tentu saja atas pertimbangan sisi ekonomisnya.

Dengan harga yang secara akumulasi akan lebih murah dan masa penggunaan yang lebih lama dibanding dengan botol plastik bekas, secara bertahap bola pelampung nantinya akan menjadi pilihan digunakan oleh petani budidaya rumput laut.   

“Apalagi bola pelampung yang kami produksi memiliki daya apung yang lebih baik, harga lebih ekonomis serta ramah lingkungan. Tentunya itu menjadi pertimbangan pilihan para petani rumput laut,” terang Habir.

Sebagai produk ramah lingkungan, dipastikan Habir, bola pelampung plastik yang mereka produksi tidak akan pernah jadi sampah hingga daya gunanya sudah mencapai batas maksimal. Bola pelampung plastik yang pada saatnya sudah tidak dapat digunakan lagi, dapat dijual kembali kepada Bank Sampah Karya Bersama untuk bahan baku produk berikutnya.

Dia juga menyampaikan, dari keberhasilan memproduksi bola pelampung ini, kedepannya Bank Sampah Karya Bersama menargetkan akan menghasilkan dua produk lagi dari mesin pengolah sampah plastik yang sama. Masing-masing produk dimaksudkannya adalah daur ulang sampah plastik menjadi genteng serta produksi paving block.

Kepala Bidang Pengelolaan Persampahan pada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Nunukan, Muhammad Irfan Ahmad meyakini, pada saatnya nanti, bola pelampung plastik yang diproduksi Bank Sampah Karya Bersama akan menjadi pemutus mata rantai penggunaan botol plastik bekas minuman yang digunakan sebagai pelampung pondasi tali bentangan usaha rumput laut.

“Perlahan petani rumput laut akan meninggalkan penggunaan botol plastik bekas minuman dan beralih menggunakan bola pelampung plastik. Jika itu terus menerus berlangsung, maka persoalan sampah plastik di Nunukan sedikit demi sedikit dapat teratasi,” tegasnya.

Menurut Irfan, berdasar data yang dimiliki, saat ini volume sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) mencapai 15 ton per hari. Satu ton di antaranya merupakan ‘sumbangan’ dari sampah botol plastik bekas.

Usaha produksi bola pelampung seperti yang dijalankan Bank Sampah Karya Bersama, menurut Irfan, sangat membantu pemerintah dalam hal menggatasi problem penanganan sampah plastik yang sebelumnya seperti menghadapi jalan buntu.

Diterangkannya, pada DLH Kabupaten Nunukan dikenal dua metode untuk mengurusi masalah sampah, yakni metode Penanganan dan metode Pengurangan.

Untuk metode penanganan, dilakukan dengan adanya campur tangan pemerintah. Misalnya pengambilan sampah pada Tempat Pembuangan Sementara (TPS) dengan menggunakan truk angkutan sampah untuk dibawa ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Sedangkan yang dimaksudkan dengan Pengurangan, kata Irfan, adalah menjadikan sampah-sampah dapat didaur ulang pada Bank Sampah Induk (BSI) atau kelompok-kelompok kerajinan yang menggunakan daur ulang sampah plastik.

“Seperti yang dilakukan Bank Sampah Karya Bersama, mendaur ulang sampah plastik dengan kandungan HDPE menjadi bola pelampung adalah tindakan dengan metode pengurangan,” terangnya.

Pemerintah Daerah Kabupaten Nunukan melalui DLH menargetkan sebesar 30 persen dari sampah plastik sebagai limbah yang dapat di daur ulang menjadi produk baru yang memiliki nilai ekonomis dan penggunaannya dibutuhkan masyarakat secara luas.      

Dipastikan, sukses yang megiringi pengembangan usaha pembuatan bola pelampung plastik oleh Bank Sampah Karya Bersama tidak terlepas dari kepedulian pihak PT Pertamina EP Tarakan yang berinisiatif memberikan bantuan peralatan produksi bola pelampung plastik dengan jari-jari 9 cm dan ketebalan 2,5 mm itu.

Prihatin pada semakin menumpuknya sampah botol plastik bekas pelampung rumput laut di Nunukan, PT Pertamina EP Tarakan melalui dana Corporate Social Responsibility (CSR), kata Irfan, menyerahkan sejumlah peralatan untuk pembuatan bola pelampung berbahan plastik.

Masing-masing peralatan yang diberikan, 1 unit mesin produksi yang mampu membuat bola pelampung plastik hingga 150 buah per hari, 1 unit mesin diesel pembangkit listrik 16 ribu Watt, 1 unit Air Compressor 2HP.

Menceritakan keterlibatan pihak PT Pertamina EP Tarakan yang akhirnya memberi perhatian pada lingkungan pesisir pantai di Pulau Nunukan yang semakin kotor dan tidak sedap dipandangan akibat sampah botol plastik bekas yang berserakan, menurut Irfan diawali ketika Pemerintah Daerah Kabupaten Nunukan melalui DLH pada tahun 2020 lalu merencanakan gerakan massal membersihkan pantai Pulau Nunukan dari sampah botol plastik bekas dengan melibatkan seluruh instansi pemerintahan, instansi vertikal serta berbagai badan usaha yang ada.

“Salah satunya, pihak PT. Pertamina yang sejak awal sudah menunjukkan antusias mereka terhadap rencana kegiatan bersih-bersih pantai tersebut,” ujar Irfan.

Namun jadwal pelaksanaan aksi sosial yang direncakan tidak kunjung terwujud lantaran pemberlakuan pengetatan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) akibat adanya kasus pandemi Covid-19.

Jadwal aksi bersih-bersih pantai yang akhirnya memang tidak terlaksana tersebut justru disikapi oleh pihak PT. Pertamina EP Tarakan dengan mengalokasikan dana CSR mereka pada kegiatan masyarakat yang dianggap efektif bisa mengatasi permasalahan sampah botol plastik bekas di Nunukan.

“Realisasinya adalah merangkul mitra binaan Bank Sampah Karya Bersama untuk mengelola usaha produksi bola pelampung. Selain mengatasi permasalahan sampah plastik, bola pelampung tersebut ternyata memang dibutuhkan karena menjadi alternatif yang baik untuk menggantikan penggunaan botol plastik bekas,” kata irfan lagi.

Wahab (42), salah seorang petani rumput laut di kawasan Tg. Batu Kelurahan Nunukan Barat, mengaku sebulan terakhir jadi pengguna bola pelampung plastik untuk pondasi budidaya rumput laut yang dia kembangkan.

Pilihannya beralih menggunakan bola pelampung plastik, menurut Wahab tentunya dengan perhitungan biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan pelampung pondasi yang lebih murah dan masa penggunaan yang lebih lama dibanding sebelumnya.

Satu buah bola pelampung yang dia beli seharga Rp13 ribu, kata Wahab dapat dia manfaatkan sesingkatnya selama 1 tahun. Jauh lebih lama dibanding jika dia menggunakan botol plastik bekas minuman yang penggunaanya  hanya dapat bertahan selama lebih kurang 80 hari.

Sebelumnya, untuk mendapatkan sebuah pelampung yang akan digunakan untuk pondasi rumput laut, Wahab membutuhkan sedikitnya 7 buah botol plastik bekas yang dirangkai menjadi satu.

Jika harga beli setiap botol plastik bekas, sesuai pasarannya sekarang, yang harganya  berkisar antara Rp 1.500 hingga Rp 2.000 per buah, maka untuk satu buah pelampung pondasi saja Wahab mengaku mengeluarkan biaya antara Rp 10.500 hingga Rp 14.000. Tentu saja pelampung rakitan buatannya tersebut maksimal dapat digunakan untuk durasi dua kali masa panen rumput laut saja atau selama lebih kurang 80 hari.

“Saya memiliki ratusan pondasi usaha budidaya rumput laut. Sudah bisa diperkirakan hitung-hitungan selisih biaya yang bisa dihemat jika beralih menggunakan bola pelampung plastik,” kata Wahab.

Dari kondisi yang ditemukan di lapangan berdasar hasil wawancara media ini kepada pihak Bank Sampah Karya Bersama, kendala pada produksi bola pelampung plastik adalah pada bahan baku yang dibutuhkan adalah plastik HDPE. Sedangkan plastik yang terbuat dari Polyethylene Terephthalate, jenis plastik dengan nilai ekonomis terendah, akan terbuang. Padahal, jumlahnya juga cukup banyak.

Ternyata, jauh sebelumnya, PT. Pertamina EP Tarakan juga mendampingi kelompok binaan Bank Sampah Induk (BSI) Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Reduce, Reuse, Recycle  (TPST3R) Sei Fatimah terhadap pendayagunaan limbah sampah plastik berbahan Polyethylene Terephthalate agar bernilai ekonomis.

Pada kelompok mitra binaan ini, PT. Pertamina EP Tarakan menyalurkan bantuan peralatan mesin press limbah botol plastik bekas yang tujuannya barang limbah yang satu ini masih memiliki nilai ekonomis melalui proses pengepakan dan selanjutnya dijual kepada beberapa daerah tujuan luar Kalimatan sebagai pembelinya.

Bambang, selaku penanggungjawab pengelolaan TPST3R Sei Fatimah, membenarkan sejak dua tahun lalu mereka telah mengerjakan pengepakan sampah botol plastik bekas minuman yang di jual ke Surabaya.

Pekerjaan tersebut menurut Bambang memang berlangsung setelah adanya bantuan peralatan dari dana CSR PT. Pertamina EP Tarakan berupa mesin press pengepakan botol plastik kerkapasitas 200 PET, Mesin Genset Penggerak 28 PK, mesin cetak paving block untuk bahan baku plastik kerangka bangunan gudang serta perangkat laptop untuk mendukung laporan data produksi dan keuangan.

“Tadinya tidak ada warga yang mau mengumpulkan limbah botol plastik bekas minuman yang sudah tidak dipakai para petani rumput laut karena dianggap tidak memiliki nilai ekonomis,” terang Bambang.

Setelah TPDP3R Sei Fatimah memiliki mesin press dan mau membeli botol plastik bekas tersebut, banyak warga yang mau mengumpulkan dan menjual kepada TPDP3R Sei Fatimah.

Sejauh ini botol plastik bekas yang sudah mereka press, lanjut Bambang, mereka kirim kepada pembeli di Surabaya.

Tidak sekedar mengurangi volume sampah plastik di Nunukan, Bambang juga mengakui dampak ekonominya juga dirasakan masyarakat luas yang menjual botol plastik bekas kepada TPDP3R. Termasuk memberi penghasilan cukup lumayan kepada 8 orang tenaga kerja yang direkrut untuk pekerjaan pengepakan botol platik bekas yang dikelola oleh TPST3R Sei Fatimah ini.

Pada kesempatan wawancara yang pernah dilakukan media ini dengan Manager Pertamina Tarakan Field, Isrianto Kurniawan, dijelaskan tentang pertimbangan pihak PT Pertamina EP. Tarakan menurunkan bantuan mesin pencetak bola pelapmung dilatarbelakangi Pulau Nunukan sebagai daerah dengan potensi komoditi rumput laut terbesar di Indonesia. Dampaknya, menjadi penggerak ekonomi masyarakat yang sangat signifikan.

Namun dibalik potensi tersebut muncul konsekuensi persoalan pada limbah sampah botol plastik bekas pelampung tali bentangan yang dibuang begitu saja setelah tidak terpakai. Berujung menjadi sampah yang berserakan di sepanjang bibir pantai Pulau Nunukan dan mengancam kehidupan biota laut di sekitarnya.

“Melihat banyaknya sampah botol plastik bekas yang dibuang setelah tidak lagi digunakan sebagai pelampung, PT. Pertamina EP Tarakan berinisiatif memberikan mesin pengolah sampah plastik yang dapat didaur ulang menjadi bola pelampung ramah lingkungan, sebagai solusinya,” kata Isrianto.

Dengan bantuan tersebut, Kota Nunukan sebagai satu dari empat kota teratas di wilayah Kalimantan Utara penghasil sampah terbesar, saat ini sudah menjadi daerah pemilik mesin pengolah sampah plastik pertama, juga di Kalimantan Utara. 

Ditambahkan, selain memberikan perangkat mesin pencetak bola pelampung, pihaknya juga memberikan pelatihan kepada anggota kelompok mitra binaan, dalam hal ini Bank Sampah Karya Bersama agar terampil mengoperasikan mesin-mesin peralatan yang ada agar memperoleh hasil produksi secara maksimal.

Harapannya, mitra binaan Bank Sampah Karya Bersama ini nantinya tidak sekedar memenuhi kebutuhan bola pelampung hanya untuk petani rumput laut di Nunukan, namun diharapkan juga penjualannya merambah pasar hingga di luar daerah.

Atas keberhasilan memasarkan produk hasil daur ulang yang kemudian diminati ramai oleh para petani rumput laut tersebut, telah menjadi nilai tambah bagi PT. Pertamina terhadap kelompok mitra binaan.

Dijelaskannya, CSR Pertamina dengan konsep tidak hanya soal charity (amal) namun memberikan dampak positif pada masyarakat secara luas, akan memperhitungkan prestasi yang ditoreh mitra binaan seperti Bank Sampah Karya Bersama atau TPST3R Sei Fatimah untuk kembali didukung dengan program-program berkonsekuensi manfaat untuk orang banyak.

Pengembangan usaha produksi bola pelampung di Nunukan ini cukup pesat, bahkan disebut-sebut pabriknya telah kewalahan memenuhi permintaan pasar.

Masih menurut Manager Pertamina Tarakan Field ini, pihaknya tidak akan sungkan untuk menambah satu unit mesin cetak lagi kalau memang diperlukan.

Sinyal positif yang disampaikan Manager Pertamina Tarakan Field ini, menurut Direktur Bank Sampah karya Bersama, Habir segera mereka tindaklanjuti dengan pengajuan proposal untuk bantuan mesin produksi daur ulang plastik bekas menjadi jerigen air berkapasitas isi 35 liter.

“Banyak masukan dari para petani budidaya rumput laut tentang kebutuhan mereka terhadap jerigen berkapasitas ini tiga puluh lima liter,” kata Habir.

Para petani rumput laut, lanjut Habir, membeli jerigan denga kapasitas isi yang mereka butuhkan seharga Rp 80 ribu. Tapi jika Bank Sampah Karya Bersama bisa memproduksinya, Habir memastikan bisa menjual kepada masyarakat hanya dengan harga Rp 40 ribu per buah.

“Lagi-lagi para petani rumput laut dapat melakukan penghematan cukup besar dari biaya pembelian harga jerigen yang dibutuhkan,” kata Habir.

Dengan persaingan harga jual yang sangat signifikan dibanding barang serupa yang didatangkan dari Pulau Jawa, Direktur Bank Sampah Karya Mandiri ini optimis pemasaran yang bisa dijangkau tidak hanya di dalam wilayah Kabupaten Nunukan, tapi bisa merambah seluruh wilayah daerah yang ada di daratan Pulau Kalimantan. (PND/DIKSIPRO)

Komentar

Related Articles

Back to top button