Nunukan

ROMBENGAN

Maraknya bisnis pakaian bekas impor, ternyata tidak hanya melanda daerah-daerah di wilayah perbatasan saja. Antara lainnya, seperti yang berlangsung di Kabupaten Nunukan.

Para pedagang pakaian bekas yang didatangkan dari luar negeri ini, sekarang sudah mudah didapati hampir pada seluruh daerah di penjuru tanah air kita. Hal itu dapat dipahami, karena konon katanya, konsumen bisa mendapatkan pakaian berkualitas baik dengan harga murah.

Berbagai sebutan kemudian bermunculan untuk menyebut identitas pakaian bekas yang didatangkan secara illegal dari luar negeri tersebut. Mulai dari kata asing yang paling keren dan kekinian, Thrift Shop, SI (Second Import) hingga istilah lokal, Rombengan serta Cakar (Cap Karung).

Cukup menarik, pengguna pakaian bekas impor di Indonesia ternyata tidak hanya dari kalangan masyarakat bawah, yang jika mengambil acuannya pada kondisi perekonomian mereka. Tidak sedikit pejabat di tingkat Kepala Dinas saja kerap dipergoki berbelanja barang-barang tersebut. Bahkan kalangan remaja milenial juga banyak yang tidak sungkan untuk menjadi penggunanya.

Namun, peluang usaha ini ternyata tidak berbanding lurus dengan kebijakan pemerintah yang melarang impor pakaian bekas ke dalam negeri. Alasan larangan pemerintah tersebut tentu saja dapat dipahami.

Selain mengakibatkan kerugian bagi negara dan Usaha Kecil Menengah (UKM) tekstil lokal, impor ilegal pakaian bekas yang tidak diketahui asal usulnya tersebut juga dikhawatirkan membahayakan kesehatan masyarakat karena tidak terjamin kebersihannya sehingga berpotensi menyebarkan virus penyakit.

Membatasi lingkup tulisan ini untuk di Kabupaten Nunukan, saya menelusuri salah satu lokasi terbesar ‘pasar’ pakaian bekas terdapat di kawasan Jalan Lingkar, Kelurahan Nunukan Timur. Di lokasi ini terdapat puluhan pedagang yang menjual pakaian bekas. Mulai dari baju, celana, rok hingga pakaian dalam baik untuk orang dewasa maupun anak-anak bahkan aneka jenis sepatu dan sandal.

Di antara pedagangnya ada yang mengaku sudah menggeluti bisnis usaha berjualan pakaian bekas ini sejak akhir tahun 90-an atau memasuki awal tahun 2000-an.

Hasil yang diperoleh dipastikan tidak hanya menjadi penopang ekonomi keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, banyak di antaranya yang mengaku bisa melanjutkan pendidikan anak mereka ke tingkat Perguruan Tinggi hingga selesai, menjadi sarjana.

Adanya kebijakan pemerintah melarang impor pakaian bekas, oleh para pedagang tentunya menjadi semacam ‘pukulan’ terhadap kondisi perekonomian mereka pada masa yang akan datang.

Rencana kembali menjual pakaian produk lokal, seperti kegiatan usaha sebelumnya, dikhawatirkan menurunkan pendapatan mereka secara drastis. Mengingat banyak pedagang pakaian yang masih bertahan dengan menjual produk lokal, kondisinya saat ini mati suri.

Masdar, salah seorang pedagang yang menjual sepatu bekas di Jalan Lingkar merencanakan coba beralih menjual sepatu produk dalam negeri. Seperti yang dia tekuni sebelum menjadi penjual sepatu bekas impor.

“Setelah stok barang sepatu bekas yang saya jual habis, akan coba kembali menjual sepatu yang didatangkan dari Cimahi,” ujarnya lirih menjawab pertanyaan terkait rencana dia selanjutnya.

Pria ini mengaku sudah bertahun-tahun menjadi pedagang sepatu bekas impor setelah ‘banting stir’ dari profesinya sebagai penjual sepatu produk lokal. Biaya sekolah anak-anaknya dapat dia atasi melalui usaha jualan sepatu bekas yang dipasok ke Indonesia secara ilegal tersebut.

Pedagang pakaian bekas lainnya, Misati mengaku kecewa dengan kebijakan pemerintah yang menerbitkan larangan dimaksud. Kebijakan itu menurut dia bisa menghilangkan sumber mata pencaharian keluarganya selama ini. Biaya pendidikan salah seorang anaknya hingga meraih gelar sarjana, diperoleh dari usaha berjualan pakaian bekas impor yang sudah bertahun-tahun dia geluti.

Selain pedagang, untuk melengkapi tulisan ini, saya juga secara acak mewawancarai masyarakat selaku konsumen yang ditemui di lokasi pasar pakaian bekas di kawasan Jalan Lingkar.

Pada umumnya memang menyayangkan adanya kebijakan larangan penjualan barang bekas impor oleh pemerintah karena alasan nantinya akan kesulitan mendapatkan barang bagus dengan harga terjangkau.

Gusmarita, seorang di antara yang mengaku dirinya sebagai salah satu dari sekian jumlah konsumen pakaian bekas impor di daerah ini mengatakan, baik dia, kerabat atau rekan-rekannya pengguna pakaian bekas impor belum pernah mengalami masalah gangguan penyakit kulit selama menjadi penggunanya.

Bukan berarti samasekali tidak ada kekhawatiran, namun sama seperti umumnya konsumen pengguna pakaian bekas, dia menyiasatinya dengan terlebih dahulu berupaya mensterilkannya sebisa mungkin.

“Sebelum dipakai, terlebih dahulu saya rendam dengan air panas lalu dicuci sampai bersih,” terang Gusmarita tentang cara mensterilkan yang dia maksudkan.

Diketahui, Pemerintah Republik Indonesia menegaskan pengetatan larangan jual beli pakaian bekas impor yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 tahun 2022 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor.

Dipastikan, regulasi tersebut dilakukan guna melindungi pelaku usaha kecil dan menengah UKM yang selama ini terancam lantaran pangsa pasarnya diambil alih pakaian bekas impor.

Komentar

Related Articles

Back to top button