KaltaraNunukan

PPN/BAPPENAS Gelar Diskusi Dunia Pendidikan di Wilayah Perbatasan

Joko Supriyadi : “Sebagai masukan strategis untuk mengatasi persoalan yang ada,”

NUNUKAN – Salah satu hambatan dalam dunia pendidikan di Kabupaten Nunukan yang diakui sulit diatasi, banyak para guru di pelosok desa yang mutasi ke daerah perkotaan, akibatnya, banyak sekolah di pedesaan mengalami kekurangan tenaga guru.

Hal itu diungkapkan oleh Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Nunukan, Akhmad S.IP.,M.M yang mendapat kesempatan pertama tampil sebagai pembicara dalam kegiatan Focus Group Discussion Peta Jalan Pendidikn Indonesia 2025-2045 yang diselenggarakan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) RI di Balikpapan, Rabu (29/5/2024) lalu.

Lebih jauh dalam paparannya pada kegiatan yang mengusung tema Strategi Pemenuhan Pendidikan Berkualitas yang Merata di Wilayah Perbatasan ini Akhmad mengatakan permasalahaan dunia pendidikan di Kabupaten Nunukan sebagai wilayah yang berbatasan langsung dengan negara tetangga Malaysia yang perlu mendapat perhatian Pemerintah Pusat, banyak peserta didik di daerah ini merupkan anak dari pekerja migran yang bekerja di Malaysia, kebanyakannya bukan warga Kabupaten Nunukan.

“Tidak sedikit pelajar yang ada di Nunukan adalah anak pekerja migran yang bukan warga Kabupaten Nunukan. Tapi mereka tidak bisa bersekolah karena pihak company tidak menyediakan sekolahan di perkebunan kelapa sawit tempat orang tua mereka bekerja,” kata Akhmad.

Solusinya, Disdik Kabupaten Nunukan bekerjasama dengan Camat setempat dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcpil) Kabupaten Nunukan mengupayakan cara agar anak para pekerja migran asal Indonesia tersebut tetap dapat mengenyam pendidikan dengan cara dititipkan pada sejumlah sekolah yang ada di Nunukan.

“Ada juga peserta didik anak migran yang tinggal di wilayah Pulau Sebatik bagian Malaysia (Wallace Bay) yang dapat mengakses sekolah Indonesia yang berada di Pulau Sebatik bagian wilayah Indonesia. Namun harus menempuh jarak yang sangat jauh. Hal serupa juga terjadi di wilayah Kecamatan Lumbis,” lanjut Akhamd.

Karenanya, atas nama Pemerintah Daerah Kabupaten Nunukan melalui Disdik, Akhmad mengusulkan kepada Kemendikbud untik dapat memfasilitasi pembangunan sebuah lembaga Pendidikan Boarding School agar peserta didik tidak perlu bolak-balik menembus perbatasan negara.

Pada gilirannya sebagai pembicara kedua, Rektor Universitas Kaltara, Didi Adriansyah S.TP.,M.M. mengusulkan agar pengelolaan sekolah tingkat SLTA oleh Provinsi dikembalikan lagi ke Kabupaten agar Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten bisa mengintegrasikan kebijakan pendidikannya dengan lebih optimal, sementara Provinsi bisa menjalankan fungsi pengawasan dengan lebih optimal pula.

Didi mengkritisi, kebijakan pengalihan wewenang pengelolaan sekolah Tingkat SLTA kepada Provinsi menjadi penyebab kesulitan Kabupaten memadukan Sumber Daya Manusia (SDM) dengan kebutuhan dan kompetensi dunia kerja di daerahnya.

“Akan menjadi miris, jika Provinsi menghasilkan lulusan SMA/SMK yang menganggur, maka jumlah pengangguran tersebut akan dicatat dan dianggap sebagai pengangguran di Kabupaten, padahal bukan Kabupaten yang mengelola sekolahnya,” kata Didi.

Persoalan dunia pendidikan lainnya di Kaltara, menurut akademisi ini adalah disparitas antara lulusan SMA di daerah dengan lulusan yang diharapkan sehingga Universitas harus melakukan effort lebih untuk memastikan Mahasiswa dapat mengikuti perkuliahan dan lulus sehingga dapat memasuki dunia kerja dengan kompetensi yang memadai.

Terkait kekurangan tenaga guru di pedesaan, seperti yang disampaikan oleh pembicara sebelumnya, Didi menawarkan solusi dengan cara menyekolahkan SDM yang berasal dari desa itu sendiri menjadi seorang guru kemudian ditugaskan pada desa asal masing-masing.

Dia juga menambahkan, urgensi peningkatan akses dan kualitas Pendidikan di Kaltara yang tidak saja merupakan daerah perbatasan tapi juga daerah penyangga Ibu Kota Negara (IKN) menjadi materi penting.

Selaku pembicara ketiga, Fitri Wijarini S.Pd., M.Pd memaparkan materi tentang tantangan pendidikan di wilayah perbatasan dan terpencil dengan sorotan persoalan buruknya aksesibilitas pada daerah terpencil. Selain jauh dari perkotaan hambatan lain yang dihadapi berupa gunung, sungai  berarus deras dan hutan yang masih lebat.

“Fasilitas sekolah di daerah terpencil juga banyak kurang memadai. Banyak ruang kelas tidak terawat, tidak ada perpustakaan, tidak ada laboratorium dan fasilitas sanitasi yang buruk,” tegasnya.

Dipastikan juga, daerah terpencil banyak mengalami kekurangan tenaga guru tertentu. Sehingga satu orang guru terpaksa harus merangkap mengajarkan beberapa bidang studi sekaligus.

Guru di wilayah perbatasan terpencil menurut Fitri juga sulit mengakses pelatihan untuk pengembangan keterampilan profesional. Dampaknya pada kompetensi mereka. Sedangkan yang dialami siswanya, sering kekurangan buku teks, bahan ajar, dan sumber belajar lainnya. Termasuk soal keterbatasan akses teknologi informasi dan komunikasi yang berdampak pada kualitas pendidikan.

“Kurikulum yang diterapkan di sekolah-sekolah daerah terpencil juga sering tidak disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan lokal sehingga menjadi kurang relevan dengan siswa di daerah tersebut,” tambahnya.

Dalam kesimpulannya, Fatri menatakan untuk mengatasi persoalan-persoalan seperti yang dia paparkan, diperlukan pembangunan infrastruktur dan teknologi yang memadai, peningkatan guru melalui pelatihan, rekruitment guru lokal, kebijakan dan pendanaan yang tepat sasaran, melibatkan Komunitas yang perduli dengan dunia pendidikan, kurikulum kontekstual sehingga relevan bagi siswa.


Pada sesi diskusi pendalaman, Ketua Yayasan Sejarah dan Budaya Kaltara, Joko Supriyadi S.T., M.T. yang hadir sebagai mitra pembangunan, memberikan sejumlah masukan untuk mengatasi persoalan-persoalan yang disampaikan oleh masing-masing pemateri secara strategis.

Dikatakan Joko, diperlukan kejelasan tentang dampak dari ketimpangan akses dan kualitas Pendidikan di daerah perbatasan terhadap pembangunan Indonesia pada umumnya dan pada IKN pada khususnya. Diharapkan, rincian dampak tersebut dapat menjadi pertimbangan khusus bagi pengambil kebijakan pendidikan Kaltim-Kaltara di pusat.

Liberalisasi Pendidikan menurutnya harus dihentikan karena hanya akan membuat biaya pendidikan semakin mahal, orientasi dunia pendidikan terlalu bersifat materiil, peserta didik seakan hanya mengejar pemenuhan kebutuhan industri, serta metode pendidikan yang semakin tidak merakyat (memaksakan standar kualitas nasional ke daerah, tidak mampu menyesuaikan potensi SDM dan kebutuhan daerah, membuat guru-guru tidak betah di pedalaman dan lain sebagainya.

Otonomi Daerah di daerah Perbatasan menurut Joko harus diperkuat dan diperluas untuk tujuan memperpendek rentang kendali dan meningkatkan inisiatif dan inovasi pemerintah daerah.

“Jangan seperti sekarang ini. Pemerintah Daerah terkesan seperti dilepas kepala dipegang ekor. Pendidikan sejarah dan budaya harus diperkuat untuk menjaga integritas nasional di perbatasan. Muatan lokal seperti sejarah lokal dan budaya lokal harus ditanamkan sejak PAUD sampai SMA agar peserta didik mengenal jati dirinya,” terangnya.

Dikatakan, sangat lucu bila peserta didik saat ini di perbatasan lebih tahu sejarah Majapahit dibanding sejarah kerajaan-kerajaan di daerahnya. Strategi pendanaan pendidikan di daerah perbatasan semestinya melibatkan korporasi/perusahaan-perusahaan besar yang ada di daerah masing-masing.

“Mekanisme pendanaan proyek pendidikan berbasis private public partnertship (PPP) perlu digalakkan untuk mengatasi ketimpangan akses dan kualitas pendidikan. Korporasi mesti dilibatkan dalam menyusun kebijakan, tidak hanya dimanfaatkan sumber dayanya,” katanya lagi. (ADHE/DIKSIPRO)

Komentar

Related Articles

Back to top button