KomunitasNunukanParlementaria

Pasca Tuntutan Keberadaan Etnis Dayak Tenggalan Diakui

DPRD Nunukan Janjikan Revisi Perda Nomor 16 Tahun 2018

NUNUKAN – DPRD Nunukan langsung memberikan tanggapan tegas atas penyampaian aspirasi masyarakat adat Dayak Tenggalan yang menuntut agar mereka menjadi etnis yang keberadaannya diakui di daerah ini yang berlangsung pada Rabu siang, (16/11/2022).

Pasalnya, dari Perda Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat, pada pasal 16 Ayat (3) pemerintah hanya mencantumkan 5 etnis, masing-masing Dayak Lundayeh, Dayak Agabag, Tidung, Dayak Tahol, dan Dayak Okolod tanpa ada etnis Dayak Tenggalan.

Ketua Komisi I DPRD Nunukan, Gat Khaleb membenarkan dalam Perda tersebut tidak mengakomodir semua etnis yang ada dalam masyarakat adat di Kabupaten Nunukan.

Namun, menurut Gat, adanya pendapat yang menganggap keberadaan masyarat adat Dayak Tenggalan tidak diakui oleh Pemkab Nunukan, juga tidak benar.

“Memang ada kekurangan dalam Perda itu. Kekurangan itu harus kita akui,” kata Gat.

Buktinya, lanjut Gat, selain di desa tersebut sudah ada terbentuk pemerintahan desa, saat melaksanakan Mubes dan Pelantikan Pengurus Lembaga Adat Suku Dayak Tenggalan, pada 29 Agustus 2022 lalu, secara resmi dihadiri Gubernur Kaltara dan Wakil Bupati Nunukan,” ujar Gat Khaleb.

Memberi contoh beberapa etnis Dayak lainnya senasib dengan etnis Dayak Tenggalan, Gat menyebutkan suku Kenyah dan suku Dayak Punan.

Memimpin Rapat Dengar Pendapat (RDP) saat itu, menurut Gat mereka sepakat untuk mengkaji ulang Perda Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat itu.

“Kami akan pelajari dulu penyusunan naskah Akademik Perdanya, dan alasan kenapa dulu hanya menyebutkan 5 etnis yang dimuat Perda,” kata Gat.

Referensi ditawarkan kepada Pemerintah dari DPRD Nunukan atas masalah tersebut, yang pertama, kata Gat mengharuskan semua kelompok masyarakat adat Dayak yang ada di Kabupaten Nunukan tercantum secara eksplisit dalam naskah Perda dimaksud.

“Referensi kedua, menghilangkan penyebutan kelompok masyarakat adat Dayak di Kabupaten Nunukan agar tidak membuat polemik,” tegas Gat.

Menurut politisi Partai Demokrat ini, sesuai diskusi yang dilakukan dengan anggota DPRD di Malinau termasuk Ketua Forum Masyarakat Adat untuk 11 wilayah adat di Kaltara, memastikan memang tidak ada penyebutan secara spesifik dalam Perda di daerah mereka. Namun Pemerintah Daerah setempat tetap akui keberadaan masyarakat adat.

Mencabut Perda Nomor 16 Tahun 2018, kata Gat lagi, juga bukan solusi bagi masyarakat adat. karena keberadaan Perda tersebut sudah baik hanya saja ada klausul pasal yang perlu ditambahkan atau bahkan direvisi kembali.

“Perda itu tidak perlu dicabut. Jika dicabut, artinya samasekali menghilangkan pengakuan pemerintah terhadap keberadaan masyarakat adat. Cukup direvisi atau ditambahkan klausul pasal,” tuturnya.

Anggota Komisi II DPRD Nunukan, Nursan menyampaikan, jika memungkinkan untuk direvisi anggota dewan akan berkoordinasi dengan bagian hukum Pemkab.

“Hal ini akan menjadi usulan revisi dalam program pembentukan Perda untuk tahun depan. Tahun ini sudah tidak memungkinkan. Keberagaman budaya atau suku harus diakomodir dalam Perda ke depannya,” ujar Nursan.

Apalagi, menurut dia, anggota DPRD Nunukan tidak bermaksud menganaktirikan etnis tertentu di wilayah ini.

Eks Ketua Bapemperda DPRD Nunukan itu menyebutkan, selama ini dirinya belum pernah mendapatkan usulan untuk memasukkan etnis Dayak Tenggalan dalam Perda.

“Selama tiga periode sejak 2009 saya duduk jadi anggota dewan bahkan bagian dalam Bapemperda tapi belum pernah dititipikan hal urgent seperti ini,” tuturnya. (DEVY/DIKSIPRO)

Komentar

Related Articles

Back to top button