
NUNUKAN – Jika tidak bisa dikatakan menghindar, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kabupaten Nunukan, dr Sholeh ternyata lebih memilih bungkam terkait sikap organisasi yang dia pimpin tentang insiden pasien hemodialisa (HD) yang terjadi di RSUD Nunukan baru-baru ini.
Indikasinya, beberapa kali upaya konfirmasi yang dilakukan diksipro.com kepada yang bersangkutan atas nama IDI Kabupaten Nunukan terkait kasus tersebut, sama sekali tidak direspon Sholeh.
Mengawali permintaan tanggapan atau sikap IDI dimaksud, wartawan media ini mencoba menghubungi Sholeh via telepon guna konfirmasi dari dia, pada Ahad 15 Mei 2022. Dua kali sambungan telepon yang masuk, pada Pk. 21.41 dan Pk. 21.43 Wita, tidak direspon Sholeh.
Pada waktu hampir bersamaan komunikasi melalui aplikasi WhatsApp untuk menjelasan tujuan wawancara dilakukan, juga hanya dibaca, tanpa dibalas.
Upaya konfirmasi kembali dilakukan keesokan harinya atau tepatnya pada Senin, 16 Mei 2022. Sedikitnya tercatat 8 kali sambungan telepon yang masuk antara Pk. 11.10 hingga Pk. 20.07 Wita tidak ditanggapi Sholeh.
Demikian juga dua kali dihubungi melalui telepon yang dilakukan pada Selasa, 17 Mei 2022 pada Pk. 11.57 dan Pk. 12.07 Wita.
Pada upaya terakhir itu, bukan sekedar tidak merespon, sholeh malah melakukan tindakan reject panggilan masuk dari awak media ini.
Seperti diketahui, sorotan terkait pelayanan medis di Nunukan mencuat di tengah masyarakat menyusul kritikan Ketua LSM Panjiku, Mansyur Rincing yang mempersoalkan adanya pasien HD di Nunukan yang tidak terlayani oleh RSUD Nunukan.
Lantaran, oknum tenaga dokter yang ditugaskan menangani pasien HD di daerah ini disebut-sebut tidak berada di tempat. Akibatnya, pasien sempat tidak sadarkan dirinya dan oleh pihak keluarga terpaksa diberangkatkan ke Tarakan guna mendapatkan pelayanan medis di RS Tarakan.
Kepada diksipro.com yang meminta klarifikasinya, oknum dokter yang belakangan diketahui adalah dr. Rahmawati, Sp. PD. K mengaku sudah tidak lagi bertugas di RSUD Nunukan pasca dirinya dimutasi sebagai Kepala RS Pratama di Sebatik.
“Sebelum dimutasi, saya memang bertanggungjawab dalam penanganan pelayanan medis HD atau pasien cuci darah di RSUD Nunukan. Dengan adanya mutasi tersebut, secara otomatis Surat Izin Praktek (SIP) saya di RSUD Nunukan juga ditarik,” terang Rahmawati saat itu.
Kendati mendapat Surat Tugas terkait kebutuhan pelayanan pasien HD di RSUD Nunukan setelah dia dipindahkan ke RS Pratama Sebatik, namun menurut Rahmawati ada kontradiksi antara SK Tugas yang dia terima dengan jadwal pelayanan pasien HD di RSUD.
“Jika saya juga ditugaskan di RSUD Nunukan, maka SIP saya juga harus diurus kembali setelah ditarik menyusul mutasi saya tempo hari,” terang Rahmawati.
Polemik yang terjadi tentu saja tidak terlepas sama sekali dengan eksistensi IDI Kabupaten Nunukan sebagai lembaga yang membawahi para dokter di daerah ini dalam menyikapi kasus tersebut.
Karenanya, konfirmasi langsung kepada dr. Sholeh dirasa perlu dilakukan agar tidak menimbulkan kesimpangsiuran asumsi masyarakat pada kasus tersebut. (PND-INNA/DIKSIPRO)