Habitat Buaya di Nunukan Terganggu?
Dheny: Harus ada penelitian untuk mengetahui penyebabnya.

Loncat ke tahun 2020, pada awal tahun atau tepatnya 01 Januari 2020, warga kembali dikagetkan atas hilangnya seorang warga Desa Tepian, Kec Sembakung atas nama Mansyah (47).
Korban diterkam saat memasang pukat udang disekitar sungai tepian. Nahas menimpa korban hingga kini tak kunjung ditemukan. Bahkan di tahun yang sama warga Nunukan sempat dihebohkan penampakan buaya berukuran raksasa sekitar 15 meter dan terdeteksi di google maps kala itu.
Menilik rentetan demi rentetan atas kejadian itu. Membuat media ini pun bertanya-tanya, apa sebenarnya menjadi penyebab fenomena keluarnya para buaya ini dari habitatnya?
Pewarta pun mencoba mendatangi salah seorang penggiat lingkungan dari World Wide Fund for Nature (WWF) Suparjono. Menurutnya, WWF sejauh ini bukanlah lembaga yang paham dan mengerti terkait apa yang sebenarnya menjadi fenomena keganasan tersebut.
“Jujur, kami sebenarnya kurang mengikuti apa yang menjadi penyebab keganasan buaya itu. Ada lembaga yang sebenarnya paling bertanggungjawab dan mengerti persoalan itu,” ujar Suparjono kala dikonfirmasi media ini.
Namun, secara sekilas apa yang terjadi saat ini, diduga kuat lantaran habitat pemangsa daging ini sudah terancam. Kendati begitu, untuk lebih jelasnya ia meminta pewarta untuk menghubungi Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kaltim.
Pewarta pun akhirnya menghubungi salah seorang pejabat di BKSDA Kaltim, Dheny Mardiono. Dari penjelasan Kepala Seksi Konservasi Wilayah I Berau, BKSDA Kaltim ini mengatakan pihaknya telah melihat dan mengikuti kasus tewasnya Muhammad Ilham di wilayah Mansapa. Dirinya pun mengucapkan berbela sungkawa atas meninggalnya korban tersebut.
Dheny, sapaan akrabnya melihat jika lokasi kemunculan buaya yang kerap dipanggil sumbing itu memang begitu dekat dengan pemukiman dan lokasi aktivitas manusia.
Menurut Dheny, satwa liar seperti buaya tentu tidak akan pernah kehilangan sifat atau naluri liarnya. Sekalipun buaya tersebut kerap diberikan makan atau dianggap jinak oleh manusia. Namun hal itu tak bisa menjamin sifat liar dari predator tersebut sirna.
“Kita contohkan seperti ada orang yang memelihara beruang, saat kecil memang lucu. Tapi kalau sudah besar pasti menakutkan juga. Beberapa orang di Kaltara juga ada yang menyerahkan (Beruang) ke kita (BKSDA) karena memang yang namanya satwa liar, akan tetap memiliki naluri liarnya,” ujar Dheny.