Cerita Riesty Amalia Menjadi Guru Anak PMI di Malaysia

Salah seorang dari 3 tenaga pendamping 148 pelajar repatriasi dari Sabah, Malaysia yang tiba di Nunukan, Rabu (9/2/2022) lalu adalah Riesty Amalia, S. Pd.
Sejak tahun 2015 dia menjadi salah seorang tenaga pendidik pada sekolah Indonesia tingkat SLTP yang berada di Sabah Malaysia hingga menyelesaikan kontrak kerjanya pada tahun 2020 lalu.
Kendati masa kontrak kerjanya telah tuntas, dia kemudian dipilih untuk mendampingi para pelajar Indonesia di Sabah untuk program repatriasi gelombang ke-III kali ini.
Alasannya, seluruh tenaga pengajar yang masih aktif di Sabah yang dipersiapkan mendampingi para pelajar itu ke Indonesia, batal diberangkatkan.
Selain karena kebijakan Pemerintah Malaysia yang masih melakukan pengetatan terhadap keluar dan masuknya orang di negaranya, juga karena para guru yang dipersiapkan masih memiliki tugas dan tanggung jawab mengajar siswa mereka di Sabah.
Dianggap berpengalaman dan sudah sangat familiar dengan pelajar Indonesia yang ada di negara tetangga itu, Alumni Universitas Negeri Semarang (UNNES) tahun 2012 ini akhirnya terpilih menjadi salah satu pendamping para pelajar anak Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Sabah Malaysia untuk melanjutkan pendidikan mereka di tanah air.
Bagaimana suka duka menjadi tenaga pengajar siswa Indonesia di luar negeri? Wanita asal Semarang yang mengaku suka tantangan ini memastikan nyaris tidak ada dukanya.
“Bagi saya, semua terasa menyenangkan. Termasuk kesulitan-kesulitan yang dihadapi, menjadi hal menyenangkan. Karena di situlah saya berproses untuk menambah pengalaman dan pengetahuan,” terangnya.
Saat bertugas sebagai tenaga pendidik di lokasi ladang perkebunan kelapa sawit di Sabah, menurut Riesty sebenarnya terasa seperti berada di negara sendiri.
“Karena umumnya para pekerja di perkebunan kelapa sawit di Malaysia itu adalah warga Indonesia dengan perilaku dan kebiasaan sehari-hari umumnya orang Indonesia,” terangnya.
Sedikit permasalahan di awal menjalankan tugasnya, lanjut Riesty, tentu saja soal bahasa pengantar dalam proses belajar mengajar. Karena keseharian para siswa terbiasa dengan dialek dan sebutan umum yang berlaku di negara tersebut.
Banyak anak PMI itu yang lahir dan besar di Malaysia. Bahkan mengikuti pendidikan setingkat Sekolah Dasar di negara itu. “Makanya bahasa keseharian mereka kental dengan dialek dan logat melayu Sabah yang asing di telinga saya. Termasuk penggunaan istilah-istilah dalam dunia pendidikan,” terang Riesty.
“Sedangkan bahasa lain dalam keseharian yang mereka gunakan adalah bahasa Bugis. Sedangkan saya orang jawa yang sehari-harinya menggunakan bahasa Indonesia,” katanya.
Menyiasati permasalahan tersebut, menurut Riesty, dirinya lah yang harus bijak menyikapi dan perlahan-lahan menyesuaikannya.
“Pada pertemuan pertama saat proses belajar mengajar, mereka masih saya tolerir menggunakan istilah Malaysia. Tapi dengan syarat, pada pertemuan berikutnya sudah harus menggunakan istilah dalam bahasa Indonesia, seperti yang sudah saya terjemahkan,” terangnya.
Dipastikan, cara tersebut cukup efektif dan sangat diterima para pelajar. Secara umum, para pelajar Indonesia yang sekolah di Malaysia ini malah terkesan bangga mengucapkan kata-kata dan istilah dalam bahasa Indonesia.
Jika akhirnya bisa menjadi tenaga pendidik di luar negeri, diceritakan Riesty berawal ketika ada tawaran dari Ketua Jurusannya memberi peluang mengajar di pedalaman Nusa Tenggara Timur (NTT).
Tawaran yang lebih bersifat ‘tantangan’ itu langsung dia terima dengan alasan agar bisa keluar dari zona nyaman dan ingin meng-upgrade diri dalam menimba pengalaman. Dari pengalaman mengajar selama setahun di NTT itu lah, Riesty kemudian mendapat tantangan berikutnya.
Menjadi guru untuk anak-anak Indonesia yang berada di perkebunan kelapa sawit di Malaysia dengan kontrak kerja selama 5 tahun. Menyelesaikan tugas mengajarnya di Sabah, Malaysia selama 5 tahun, anak pertama dari 3 bersaudara ini mengaku memang tidak mengajukan permohonan perpanjangan kontrak kerja.
Lulusan S1 UNNES Semarang dengan jurusan sejarah ini ingin melanjutkan pendidikan untuk meraih gelar S2 (Magister Sejarah) di Kota Solo.
“Setelah lulus nanti, saya berkeinginan kembali mengajar anak-anak Indonesia yang berada di luar negara. Jika memungkinkan, sasaran berikutnya mengajar di Tokyo, Jepang,” tandas Riesty. (DEVI/DIKSIPRO)