Feature

Tenggelam di Sungai Tulid, Ibu Yarimin Diselamatkan Akar Pohon

Pukul 13.20 WITA, Selasa siang (15 Juli 2025), Sungai Tulid tiba-tiba mengubah wajahnya. Dari aliran tenang menjadi luapan yang mendebarkan. Warga tak sempat bersiap; air naik tanpa tanda. Belakangan diketahui, banjir kiriman dari hulu Malaysia menyusup melalui perbatasan, menggulung Sungai Tulid yang membentang di jantung Tulin Onsoi.

Di atas perahu kecil, tiga warga berlayar pulang usai mencari kayu bakar: pasangan suami istri yaitu Habisan dan Yarimin, serta tetangga mereka Farida yang tak lain adalah sepupu Yarimin. Tak satu pun menyangka perjalanan pulang akan berubah menjadi drama hidup dan mati.

Di tengah pusaran air, perahu oleng, berderak, lalu terbalik. Dua penumpang selamat. Tapi Ibu Yarimin hilang ditelan sungai.

Tangis pecah di rumah kayu milik Yarimin. Di Desa Sekikilan, kabar menyebar seperti angin: “Ibu Yarimin terseret arus.” Warga mulai berkumpul, membuat pos kecil di tepian sungai. Isak haru dan doa menyatu, menanti keajaiban yang mereka tahu jarang datang.

Dan ajaib itu benar-benar datang.

Beberapa jam berselang, dari arah dapur rumahnya, terdengar suara riuh anak-anak: “Mama pulang!” Di ambang pintu, berdiri sosok perempuan berambut basah, memeluk seikat sayur sungai yang masih segar. Itu dia—Yarimin, kembali dari pelukan sungai.

“Saya sempat terseret, lalu pegangan akar besar. Saat naik ke darat, saya lihat sayur banyak. Saya petik sebentar, karena anak-anak saya belum makan,” katanya dengan suara lirih namun tegar.

Tokoh adat Dayak Agabag Sungai Tulin, Sibrianus Sati, menyebut momen itu sebagai keajaiban nyata.

“Sungai ini tak hanya menenggelamkan. Ia menyimpan cara sendiri untuk mengembalikan siapa yang masih dijaganya. Tapi itu bukan alasan untuk mengabaikan tanda-tanda alam,” ujarnya.

Menurutnya, Sungai Tulid pasca-banjir telah berubah—tak lagi ramah bagi perahu kecil dan pejalan air. Ia mengingatkan warga untuk membaca bahasa sungai, bukan sekadar melihat alirannya.

“Kalau arus tenang tapi mengendap lumpur, itu pertanda bahaya. Kita harus ajarkan ini kepada generasi muda.”

Sibrianus juga menyoroti banjir kiriman dari Malaysia yang kerap datang tanpa pemberitahuan.

“Sungai lintas batas tidak bisa dipahami dengan peralatan saja. Kita perlu pengetahuan lokal, intuisi, dan ritual hidup masyarakat sekitar,” ujarnya.

Kisah Yarimin tak selesai di tepian sungai. Sayur yang ia bawa tak jadi dimasak. Diletakkan di atas meja rumahnya sebagai pengingat bahwa hidup punya caranya sendiri untuk kembali, bahkan dari arus yang terdalam.

“Kalau sungai meluap tanpa aba-aba, jangan lawan. Tapi kalau semesta belum mengizinkan pergi, maka akar pun bisa jadi pegangan,” tutup Sibrianus. (WIRA/DPro)

Komentar

Related Articles

Back to top button