Oooooii…… Yaki, Yadu
Je nagamu ingkupu Yaki Telukan, Yaki Mentadok, Yaki Intap
Jenagamu ingkupu mu degitu. Samamu geng kacau mo. Intad de awal saboi ahir mo
De inagamu Yaki, Yadu
(Wahai……para leluhur kami suku Tidung. Kakek Telukan, Kakek Mentadok, Kakek Intab.
Jagalah kesehatan dan keselamatan kami para cucumu. Hindarkan kami dari masalah dan bahaya sejak awal hingga akhir acara ini.
Oh, kakek nenek leluhur kami. Perkenankan permohonan ini.)
Begitu lebih kurang syair permohonan yang diucapkan Ketua adat Tidung Sei. Bilal Kecamatan Nunukan Barat, Ibrahim Latif, memulai ritual Bejiu Sapor (Mandi Safar), pada Rabu (6/10/21) yang diselenggarakan di Desa Binusan, Kemacamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara.
Selain Ibrahim Latif, beberapa tokoh adat tetua etnis Tidung mendapat kesempatan pertama untuk mengguyur air pada beberapa anak yang mengenakan Salamun (Wafak dari janur bertuliskan surat Yassin) di kepala. Menandakan prosesi Bejiu Sapor dimulai.
Sebelumnya, pembacaan do’a keselamatan dan do’a tolak bala di halaman rumah panggung Baloi Adat yang dipimpin saorang tokoh agama setempat diikuti dan di Aamiin-kan ratusan warga yang menghadiri kegiatan ini.
Mewakili pemerintah, Wakil Bupati Nunukan, H. Hanafiah SE, yang hadir , dalam sambutannya memberikan dukungan moral atas pelaksanaan ritual Bejiu Sapor sebagai tradisi turun temurun di kalangan masyarakat etnis Tidung dalam menjaga atau memelihara budayanya.
“Saya melihat upacara Bejiu Sapor ini berpeluang untuk menjadi agenda wisata di Kabupaten Nunukan. Apalagi kekhususan tradisinya tidak dimiliki oleh masyarakat etnis lainnya di Indonesia, kecuali etnis Tidung dan beberapa etnis rumpun melayu,” kata Hanafiah.
Wakil Bupati yang memahami esensi ritual Mandi Safar ini sebagai kearifan lokal yang dikemas sedemikian rupa dan sudah menjadi tradisi turun temurun pada masyarakat yang meyakini pada setiap Bulan Safar (Islam) tersebut sebagai masa terjadinya banyak permasalahan atau bencana di tengah masyarakat.
Kalangan masyarakat yang memegang teguh tradisi Bejiu Sapor ini mengatasi persoalan yang mungkin terjadi dengan cara memanjatkan do’a agar terhindar dari segala bencana yang tidak diharapkan. Dan tradisi itu harus dihargai.
“Kita melihat dari sisi positifnya, melalui upacara Mandi Safar, dapat terbangun rasa persatuan, kebersamaan dan rasa persaudaraan di tengah masyarakat. Tidak masalah dilibati masyarakat etnis lain yang sifatnya lebih kepada membangun silaturahmi antara etnis,” tegas Hanafiah.
Senada dengan Wakil Bupati, Ketua Panitia Pelaksana, H. Sura’i, S.Sos., M.Ap, memastikan kegiatan Bejiu Sapor ini sebagai bagian dari budaya masyarakat etnis Tidung dimanapun mereka berada, akan menyelenggarakannya sebagai bentuk melestarikan tradisi budaya dari para leluhur mereka.
“Beberapa kegiatan yang dilakukan juga masih mengacu pada syariat agama Islam. Misalnya saja, do’a keselamatan dan do’a tolak bala yang dibacakan sama dengan do’a keselamatan dan do’a tolak bala yang umum dilakukan orang selama ini,” kata Sura’i yang juga Koordinator Lembaga Adat Tidung Kabupaten Nunukan. (PND/DIKSIPRO)