Selama 8 Tahun Jadi ART di Malaysia Tanpa Gaji
Warga Kalbar Lupa Jalan Pulang ke Kampung Asal
NUNUKAN – Tergiur janji upah ratusan ringgit yang akan diterima jika bekerja di Malaysia, seorang wanita asal Kalimantan Barat, Yuli Yustini (35) terbujuk rayuan seorang calo tenaga kerja yang tidak dikenal, untuk merantau ke negeri jiran tersebut.
Saat itu tahun 2001, wanita asal Kampung Nganadakan, Desa Senanga, Kecamatan Nanga Taman, Kabupaten Sekadau, Provinsi Kalimantan Barat ini masih berusia 16 tahun. Dia dijanjikan akan bekerja sebagai Asisten Rumah Tangga (ART) di Sabah, Malaysia.
“Karena diberitahu bekerja sebagai pembantu rumah tangga dapat gaji besar. Saya ingin sekali ikut bekerja ke Malaysia,” terang Yuli.
Dia tidak sendiri, calo tenaga kerja dimaksud banyak membawa wanita yang akan dipekerjakan pada beberapa bidang pekerjaan, Yuli dikatakan akan bekerja sebagai ART.
“Saat itu saya dijanjikan akan menerima upah delapan ratus ringgit perbulan,” kata Yuli Yustina yang diwawancarai, Sabtu (11/12/2021) di tempat penampungan sementara, di Rusunawa, Sedadap, Nunukan.
Dalam perjalanan, uang bekal sebesar Rp 900 ribu dan perhiasan emas berupa cincin dan kalung milik Yuli diambil oleh calo dimaksud dengan alasan untuk keamanan.
“Kata calo itu, kalau saya bawa uang tunai dan perhiasan ke rumah majikan nanti disangka mencuri. Janjinya, akan dikembalikan setelah situasi bekerja dirasa aman,” cerita Yuli.
Mengaku kurang paham dan terbatasnya latar belakang pendidikan, Yuli percaya dan menyerahkannya begitu saja. Padahal perhiasan yang dia miliki merupakan pemberian orang tua pada kisaran tahun 90-an dengan nilai saat itu sebesar Rp. 1,6 juta.
Namun kenyataannya, selama 8 tahun bekerja sebagai ART Yuli sama sekali tidak pernah menerima upah dari majikannya. Padahal setiap hari dia harus bangun pada Pk. 04.00 untuk melakukan pekerjaan hingga malam hari.
Selain tidak menerima upah, Yuli juga hanya mendapat jatah makan sekali dalam sehari. Tempat tidurnya hanya beralaskan tikar tipis.
Hingga pada puncaknya, setelah selama 8 tahun menjalani penderitaannya bekerja sebagai ART tanpa upah, Yuli memutuskan untuk melarikan diri dari rumah majikannya tanpa membawa paspor miliknya.
“Sejak bekerja, Paspor dan surat-surat lain milik saya dipegang oleh majikan,” terang Yuli.
Tak lama setelah minggat dari rumah majikan, Yuli menikah dengan sorang pria dan memperoleh 6 orang anak, masing-masing Juliana (11), Elisabet (10), Magdalena (8), Rianto (5), Erfan (4), dan Alisa (2) Suaminya merupakan pekerja di sebuah perkebunan kelapa sawit di wilayah Sabah.
Namun pada Februari 2021 lalu suaminya meninggal dunia karena sakit. Yuli yang kemudian menggantikan pekerjaan almarhum suaminya sebagai penombak tandan buah segar (TBS) sawit sekaligus mengerjakan pekerjaan saat loading (TBS)
“Demi menghidupi anak-anak, saya terpaksa bekerja melanjutkan pekerjaan almarhum suami,” kata Yuli.
Gaji hanya sebesar RM 600 per bulan yang di terima masih harus dipotong biaya makan sehari-hari bersama anak-anaknya. Untungnya dia tidak menyewa tempat tinggal karena menumpang pada sebuah rumah milik warga penduduk setempat.
Pekerjaan menombak tandan buah sawit setiap hari dilakukan sejak Pk. 06.00 hingga Pk. 12.00 dengan masa libur setiap hari Ahad.
Untuk mendapatkan tambahan penghasilan, orang tua tunggal dengan tanggungan 6 orang anak ini melakukan pekerjaan sampingan menoreh pohon karet setiap usai melakukan pekerjaanya di perkebunan sawit.
Untuk pekerjaan sampingan ini, mulai dari menoreh hingga menjual hasil karet, Yuli memang mendapat penghasilan yang tidak pasti. Namun bisa mencapai hingga RM 600 per bulan.
Yuli dan anak-anaknya kembali ke Indonesia termasuk dalam rombongan 229 PMI ilegal yang dipulangkan Pemerintah Malaysia pada Jum’at 10 Desember 2021 lalu.
Namun, kepulangannya sekeluarga ke tanah air bukan melalui proses deportasi. Menurut Yuli mereka dibantu mendaftarkan diri kepada Konsulat RI di Kota Kinabalu untuk dipulangkan ke Indonesia.
“Kami tidak ditangkap. Ada keluarga yang mendaftarkan ke Konsulat untuk ikut dipulangkan ke Indonesia,” terang Yuli yang mengaku berada di Malaysia selama 20 tahun dan sudah lupa jalan untuk pulang ke kampung halamnnya di Kalimantan Barat. (DEVY/DIKSIPRO)