KaltaraNunukan

Pelepasan Kawasan Hutan Lindung di Nunukan

Baru Pengukuran dan Pemasangan Patok

NUNUKAN – Kendati namanya Hutan Lindung, namun karena aksesibilitasnya yang mudah dijangkau, tidak bisa dipungkiri Hutan Lindung di Pulau Nunukan sudah banyak difungsikan oleh masyarakat.

Begitu dikatakan Kepala Seksi Perlindungan Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem dan Pemberdayaan Masyarakat, Unit Pengelola Teknis Daerah Kesatuan Pengelolaan Hutan (UPTD KPH) Nunukan, Dedy Suprayitno, S. Hut.

Hal itu terjadi karena lebih kurang 2800 Hektar Hutan Lindung tersebut posisinya berada di tengah pulau sedangkan aktivitas masyarakat terus berjalan.

Menurut Dedy Suprayitno status Hutan Lindung Pulau Nunukan sudah ditetapkan sejak tahun 1980. Saat itu masih di bawah kewenangan Menteri Pertanian.

“Tugas dan kewenangan kami mengalami pasang surut. Dalam arti, sebelum tahun 2013 kewenangan ada di Kabupaten melalui Dinas Perkebunan dan Kehutanan,” terang Dedy.

Sejak UU No. 32 Tentang Pemerintah Daerah ditetapkan, kewenangan penertiban hutan dicabut dari kabupaten menjadi kewenangan provinsi. Namun kewenangan tersebut tidak serta merta langsung dapat digunakan karena organisasi yang menanganinya belum terbentuk.

Pada masa transisi tersebut, masyarakat sangat merajalela dan masif melakukan perambahan hutan dan penebangan pohon secara liar. Saat itu sulit untuk dilakukan penertiban karena belum ada kejelasan soal kewenangn pengawasannya.

“Saat UPTD KPH Nunukan sudah menjadi bagian dari Pemerintah Provinsi dan kewenangannya sudah jelas, namun kondisi Hutan Lindung Nunukan memang sudah banyak yang rusak,” tegas Dedy.

Kendala lain yang dihadapi, dengan keterbatasan personil yang dimiliki, menurut Dedy pihaknya juga tidak dapat melakukan pengawasan tersus menerus.

Walaupun pengawasan dilakukan secara kontinu, dengan hanya 12 orang personil Polisi Kehutanan (Polhut) yang ada, dibagi menjadi dua tim dalam melakukan patroli keliling, tentu sulit untuk mencapai hasil maksimal.

“Apalagi, kebijakan pemerintah saat ini kan tidak boleh menghalau orang, terutama yang sudah bermukim dan berkebun dalam kawasan hutan.

Guna menyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam kawasan Hutan Lindung, pemerintah kemudian menerbitkan Kepres Nomor 88 Tahun 2018.

Melalui Kepres tersebut, ada dua skema yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan secara bertahap terkait penguasaan tanah dalam kawasan hutan. Yang pertama, melalui program TORA (Tanah Objek Reforma Agraria). Yaitu program pelepasan dalam skala terbatas. Misalnya untuk lahan yang telah digunakan untuk rumah tinggal, pekarangan dan kebunnya.

“Usulan pelepasan tersebut melalui Kelurahan atau Desa, Camat, dan Pemerintah Daerah diusulkan ke Balai Pemantapan Kawasan Hutan Samarinda,” terang Dedy.

Selanjutnya, tim TORA akan melakukan verifikasi terhadap usulan tersebut.

Sedangkan skema kedua, merupakan kebijakan pemerintah pusat untuk melihat penduduk yang ada di pemukiman dalam kawasan hutan, bila memungkinkan untuk direkrut dan dilakukan pembinaan dalam kegiatan perhutanan sosial.

Contohnya, Kelompok Tani Floresta yang berada di kawasan persemaian. Mereka mendapatkan wilayah kerja di hutan lindung untuk dibudidayakan berdasar SK dari Kementrian dan hasilnya dinikmati oleh kelompok tani itu sendiri.

“Jika tidak dapat dilakukan pembinaan, maka pilhan lainnya diusulkan melalui program TORA itu tadi,” kata  Kasi PKSDEPM UPTD KPH Nunukan ini.

Dalam hal tersebut, pihaknya hanya sebagai user yang akan mendampingi Tim BPKH dalam melakukan pengukuran dan pemasangan patok. Yang berhak mengeluarkan dan melepaskan lahan dimaksud adalah Kementerian melalui Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Samarinda.

Sejak ada usulan dan verifikasi sejak tahun 2014 lalu, hingga saat ini pelaksanaan kegiatannya baru sampai tahap pengukuran dan pemasangan patok lahan.

“Belum ada SK dari Kementerian tentang pelepasannya. Maka tugas UPT KPH masih tetap melakukan pengawasan kawasan Hutan Lindung,” terang Dedy Suprayitno. (DEVY/DIKSIPRO)

Komentar

Related Articles

Back to top button