Pasca Banjir Kiriman dan Konflik Lahan, Tokoh Adat Dayak Agabag Minta Relokasi Permukiman

NUNUKAN – Wacana relokasi permukiman masyarakat adat Dayak Agabag kembali mengemuka, dipicu oleh dua eskalasi yang bersifat simultan: banjir kiriman dari hulu Sungai Tulid dan konflik lahan dengan PT. KHL. Menurut Sibrianus Sati, Wakil Kepala Adat Besar Dayak Agabag Sungai Tulid, relokasi bukan lagi opsi, melainkan kebutuhan strategis untuk perlindungan jangka panjang terhadap komunitas adat di perbatasan Kalimantan Utara.
Sati menegaskan bahwa permukiman yang selama ini berada di wilayah bantaran dan lereng sungai rentan terhadap banjir tahunan, terutama kiriman air dari wilayah Malaysia yang alirannya sulit diprediksi tanpa sistem peringatan dini lintas batas. Peristiwa banjir yang melanda 10 desa di Kecamatan Tulin Onsoi menunjukkan bahwa daerah hulu dan hilir sudah tak mampu lagi menjadi zona hunian aman.
“Kalau kita bicara teknis, posisi desa-desa ini berada di dataran banjir-dataran rendah yang semestinya dialihfungsikan untuk konservasi air, bukan tempat tinggal jangka panjang,” ujar Sati.
Ia juga menyoroti bahwa perencanaan tata ruang regional belum sepenuhnya mengintegrasikan data hidrologi lintas batas. Padahal, sebagian besar sungai utama yang melintasi Tulin Onsoi adalah catchment basin atau cekungan tangkapan air dari perbukitan perbatasan Malaysia. Tanpa intervensi kebijakan relokasi, wilayah hunian akan terus berada dalam siklus bencana dan kerentanan ekonomi.
Selain faktor ekologis, Sati juga mengaitkan urgensi relokasi dengan konflik spasial antara masyarakat adat dan pihak PT. KHL. Menurutnya, ekspansi lahan industri sawit telah menyempitkan zona tinggal, zona ritual, dan zona pangan masyarakat adat. Unjuk rasa masyarakat pada bulan lalu bukan hanya bentuk penolakan, tapi peringatan bahwa wilayah adat sudah terkunci dari segala arah.
“Yang kami inginkan bukan ganti rugi, tapi ruang hidup yang berdaulat dan terencana. Relokasi harus bicara topografi, ketersediaan air, dan akses pendidikan serta pelayanan dasar. Bukan sekadar pindah rumah,” tegasnya.
Sati meminta agar relokasi dilakukan berbasis pemetaan partisipatif, melibatkan pemuka adat, tokoh lingkungan, ahli geospasial, dan pemerintah daerah. Ia juga mengusulkan pendekatan desa transisi, yaitu skema pembangunan permukiman baru yang tumbuh paralel dengan desa asal selama 2–3 tahun masa adaptasi.
“Jangan sampai warga tiba-tiba dipindahkan ke tanah yang tidak mereka kenal. Kami minta relokasi yang berbasis budaya, bukan hanya administratif,” tambah Sati.
Ia mencontohkan bahwa sejumlah daerah transmigrasi pernah gagal karena tidak memperhitungkan sistem sosial lokal dan preferensi pertanian masyarakat adat. Oleh karena itu, Sati mengusulkan agar Badan Perencanaan Daerah dan akademisi ikut menyusun blueprint relokasi yang didasarkan pada data risiko banjir, iklim mikro, dan potensi ekonomi pasca-pemindahan.
Wacana relokasi ini mendapat dukungan dari beberapa kepala desa terdampak yang mulai menyadari bahwa pola banjir kiriman lintas negara bukan lagi siklus alami biasa, melainkan kondisi permanen yang harus ditanggapi dengan reformasi ruang tinggal.
Namun, hingga hari ini belum ada sikap resmi dari pemerintah daerah terkait permintaan tersebut. Masyarakat hanya berharap agar aspirasi ini tidak tenggelam bersama banjir yang terus datang tanpa kepastian kapan surutnya.
“Bukan kami ingin lari dari tanah leluhur. Tapi jika tanah itu tak lagi bisa menjaga anak cucu kami, maka kami harus menata ulang cara bertahan,” tutup Sati, sembari memegang peta lipat wilayah adat Sungai Tulin yang telah sobek di garis banjir. (WIRA/DPro)