
NUNUKAN – Jika Nunukan tidak mampu menangkap peluang pengembangan potensi usaha yang dimiliki daerah, maka kemajuan Nunukan sebagai ibu kota kabupaten akan tertinggal dibanding empat ibu kota kabupaten lain yang ada di wilayah Propinsi Kalimantan Utara. Begitu diungkapkan Direktur PT Benuanta Kaltara Jaya, Badan Usaha milik Daerah (BUMD) di Kalimantan Utara Haeruddin Rauf ST, MSi
“Kota Nunukan akan menjadi ‘pedalaman’ dibanding Tarakan, Tanjung Selor, Malinau bahkan Kabupaten Tanah Tidung,” tegas Haeruddin menggambarkan tingkat ketertinggalan yang akan dialami Nunukan jika tidak segera membenahi pola pembangunan wilayahnya.
Menurut Haeruddin, masing-masing kabupaten di wilayah Kalimantan Utara saat ini tengah berlomba memicu geliat pembangunan fisik dan perekonomian serta sumber daya manusia mereka. Selain menggali dan mengekspos potensi yang dimiliki daerah juga memanfaatkan secara maksimal fasilitas-fasilatas yang dibangun Negara untuk daerah baru berkembang.
Misalnya saja, realisasi pembangunan jalan paralel lintas Kalimantan tahun 2018 lalu sepanjang 114,2 kilometer untuk Kalimantan Utara dari sepanjang 849 kilometer yang direncanakan. Akses jalan tersebut menghubungkan dengan Propinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat.
Nunukan, lanjut Haeruddin harus secepatnya mengantisipasi manfaat fasilitas tersebut dengan menempatkan diri pada porsi membangunnya dengan uang dari APBD.
Misalnya, melirik potensi unggulan apa yang dapat dijual tidak hanya pada daerah-daerah yang ada di Kalimantan Utara tapi hingga menembus pasaran di Kalimantan lainnya.
Haeruddin menyebutkan antara lain beberapa potensi usaha besar di Nunukan yang memiliki peluang menopang perekonomian yakni budi daya usaha rumput laut dan usaha sarang burung walet.
“Selama ini, pengelolaan pengembangan kedua usaha tersebut masih mengandalkan upaya atau kreatifitas masyarakat sendiri dalam pengembangannya yang tentu saja ada keterbatasan,” kata Haeruddin.
Ditanyakan apakah sejauh ini pemerintah daerah belum melakukan langkah-langkah kongkrit guna mendukung berkembangnya kedua peluang usaha tersebut. Haeruddin memang tidak sepenuhnya ‘memvonis’ demikian.
Tapi menurut dia campur tangan pemerintah setempat belum dilakukan secara maksimal. Misalnya, turut mencarikan peluang pasar yang kaitannya erat dengan terbangunnya akses transportasi di daratan Kalimantan.
Memberikan bantuan bibit rumput laut, bantuan tali bentangan atau material lain terkait usaha budidaya rumput laut, masih seperti dikatakan Haeruddin, belum sepenuhnya dapat dikatakan upaya maksimal pemerintah. Harus dipikirkan juga hingga pada pemasarannya dengan harga yang lebih baik atau setidaknya stabil.
Terkait dengan peran Pemerintah Daerah meningkatkan perhatian terhadap pengembangan usaha rumput laut ini dibenarkan Mahuni, salah seorang warga di Desa Binusan.
Sebelumnya Mahuni menggiati usaha tani rumput laut selama lebih kurang dua tahun terakhir. Dia mengaku istirahat dari usaha tersebut akibat lebih sering merugi karena tak kunjung stabilnya harga jual rumput laut kepada pengusaha pengumpul.
Para pengusaha tersebut, terangnya lebih sering tidak konsisten dalam memberikan harga beli terhadap petani. Tapi untuk berpaling dari cengkraman para pengusaha dimaksud, kata Mahuni mereka tidak punya pilihan pasar lain.
“Harga jual yang lebih sering rendah membuat kami (petani rumput laut) merugi. Saya terpaksa istirahat dulu dari merumput laut,” kata pria yang mengaku kembali pada pekerjaan sebelumnya sebagai tukang buat bangunan rumah.
Pria ini masih punya harapan untuk kembali menjadi petani rumput laut jika kelak ada keseriusan pemerintah daerah memperhatikan perkembangan usaha komoditi yang satu ini. (PND/diksipro)