Aplikasi PPDB Kaltara 2022/2023 Dinilai Abal-Abal
Mansyur : “Pemprov Kaltara berperan ‘membunuh’ masa depan siswa,”

NUNUKAN – Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pancasila Jiwaku (Panjiku), Mansyur Rincing, menyebut Aplikasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Kalimantan Utara tahun ajaran 2022/2023 sebagai aplikasi abal-abal.
Alasannya, aplikasi yang dibuat oleh panitia di provinsi untuk pendaftaran siswa baru tersebut sangat kaku yang justru mempersulit siswa dalam menempuh kelanjutan pendidikannya.
Antara lain persoalan yang muncul akibat aplikasi PPDB yang dinilai asal-asalan itu, siswa yang gagal diterima pada sekolah negeri yang menjadi pilihan utamanya, tidak memiliki kesempatan untuk mendaftar di sekolah negeri lainnya.
Walaupun pada sekolah negeri pilihan berikut itu masih tersedia kuota calon siswa baru yang dapat diterima. Namun untuk mendaftarkan diri pada sekolah dimaksud tidak dapat dilakukan lantaran aplikasi PPDB yang ada telah dikunci oleh panitia di provinsi.
Persoalan lainnya, PPDB yang masih mengacu pada ketentuan zonasi ini menjadi kacau balau karena banyak siswa yang masih termasuk dalam zonasi sekolah yang diinginkan justru tertolak. Maka kesempatan untuk masuk kesekolah yang berstatus negeri dengan serta merta tertutup.
“Panitia di provinsi asal-asalan saja menggunakan aplikasi PPDB tahun ini tanpa melihat persoalan sosial yang terjadi di tengah masyarakat masing-masing daerah yang ada di Kalimantan Utara,” kata Mansyur.
Pada persoalan pertama, Mansyur Rincing mencontohkan banyaknya calon siswa baru yang gagal diterima d SMA Negeri 1 Nunukan tapi tidak bisa lagi mendaftar di SMA Negeri 2 Nunukan karena aplikasi PPDB-nya sudah ditutup oleh panitia di provinsi.
Diketahui, tahun ini SMA Negeri 2 Nunukan, melalui Kepala Cabang (Kacab) Disdikbud Kaltara wilayah Nunukan mengusulkan jumlah siswa baru yang dapat mereka terima sebanyak 144 orang. Namun pendaftaran melalui aplikasi PPDB yang diterapkan hanya mengakomodir 108 siswa baru yang diterima. Sehingga, di sekolah ini masih menyisakan kuota kursi kosong untuk 36 siswa baru.
Persoalan kedua, banyaknya calon siswa baru yang berdomisili dalam wilayah zonasi sekolah negeri tempat mereka mendaftar, juga tertolak karena alasan zonasi. Padahal pada tahun sebelumnya, siswa bersangkutan memiliki saudara kandung yang diterima pada sekolah yang sama.
“Bagaimana mungkin, tidak satu pun calon siswa baru tingkat SMA yang berdomisili mulai dari kawasan Sei. Bilal hingga Daerah Binusan yang tidak diterima di SMA Negeri 1 Nunukan maupun di SMA Negeri 2 Nunukan. Padahal tempat tinggal mereka berada dalam zonasi kedua sekolah tersebut,” ujarnya.
Adanya sekolah swasta yang menjadi alternatif setelah gagal diterima di sekolah negeri, lanjut Mansyur lagi, diakui cukup memberatkan banyak orang tua siswa dari sisi pembiayaan.
Para orang tua, lanjutnya, bukannya tidak mau menyekolahkan anak mereka di sekolah swasta. Tapi karena kebanyakan mereka berasal dari kalangan masyarakat ekonomi kurang mampu, melanjutkan pendidikan di sekolah swasta tentu sangat memberatkan dari sisi pembiayaannya.
“Bayangkan saja, jika para orang tua siswa bersangkutan berpenghasilan hanya dari mengambil upah mengikat rumput laut dan tinggal di rumah sewa. Ditambah persoalan anak-anak yang harus dibiayai pendidikannya tidak hanya satu orang,” ucapnya.
Saat para orang tua tidak mampu menyekolahkan anak mereka karena persoalan biaya, lanjutnya, artinya sama saja dengan pemerintah yang telah menerapkan aplikasi PPDB tahun ini turut berperan ‘membunuh’ masa depan generasi muda di daerah ini. (INNA.DIKSIPRO)