Nunukan

Dituduh Menyerobot Lahan HGU, Masyarakat Unjuk Rasa di PT. BHP

NUNUKAN – Puluhan warga Desa Bebanas, Desa Melasu Baru, Desa Lulu, dan Desa Sujau di Kecamatan Sebuku, Kabupaten Nunukan, turun ke jalan dalam aksi demonstrasi besar-besaran menuju Pabrik Kelapa Sawit milik PT. Bulungan Hijau Perkasa (PT BHP) Senin (19/5/2025).

Mereka menuntut keadilan atas tanah adat yang menurut massa aksi telah dirampas dan kini masuk dalam konsesi perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Bulungan Hijau Perkasa (BHP) dan PT Karang Juang Hijau Lestari (PT KHL) yang merupakan perusahaan dalam satu group yang sama. Tudingan intimidasi dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat menjadi pemicu utama aksi ini.

Nick Berdy, Kepala Adat Desa Bebanas mengatakan, aksi ini dipicu oleh pemanggilan lima warga Desa Bebanas, termasuk kepala desa, oleh Polda Kalimantan Utara.

Mereka dilaporkan atas dugaan penyerobotan lahan berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Namun, bagi masyarakat adat, tuduhan ini tidak masuk akal.

“Kami telah tinggal di sini sejak nenek moyang kami! Tanah ini bukan milik perusahaan, tapi bagian dari kehidupan kami. Bagaimana bisa kami dituduh menyerobot?” ujar Nick Berdy.

Masyarakat menuntut PT BHP dan PT KHL segera mencabut laporan terhadap warga, serta meminta pemerintah daerah segera menyelesaikan persoalan enclave lahan yang telah mereka ajukan.

Diterangkannya, wilayah adat Dayak Agabag telah dihuni sejak lebih dari 2.500 tahun lalu, namun dalam beberapa dekade terakhir, ekspansi perkebunan kelapa sawit telah merambah 13 dari 16 kecamatan di Nunukan.

Menurutnya saat ini, total 210.700 hektare lahan telah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit, yang sebagian besar berada dalam konsesi perusahaan besar.
“Kami tidak bisa bertani lagi, tidak bisa mencari kayu, bahkan tanah tempat kami membangun rumah sudah masuk konsesi perusahaan,” terangnya.

Masyarakat adat telah melakukan berbagai upaya hukum untuk mempertahankan hak mereka. Laporan ke pemerintah, hearing di DPRD Nunukan, bahkan menyampaikan aspirasinya saat kedatangan Wakil Menteri ATR/BPN, semuanya telah mereka tempuh. Namun, hasilnya tetap nihil.

Sejak 2011 hingga 2025, intimidasi terhadap masyarakat adat terus terjadi. Berulang kali, warga ditangkap, diinterogasi, bahkan dijerat dengan tuduhan pidana. Pemukiman, kebun, dan sarana prasarana masyarakat adat telah masuk dalam HGU milik PT BHP dan PT KHL, sehingga mereka tidak lagi memiliki kontrol atas tanah yang mereka tinggali selama berabad-abad.

Masyarakat menyebut pemanggilan lima warga Desa Bebanas ini sebagai bentuk kriminalisasi terbaru yang mereka hadapi. Jika perusahaan dan pemerintah tetap diam, masyarakat memperingatkan bahwa aksi ini hanyalah awal dari demonstrasi yang lebih besar.

Tuntutan Aksi:

Dalam aksi ini, masyarakat mengajukan tiga tuntutan utama:
✔ PT BHP dan PT KHL harus mencabut laporan kriminalisasi terhadap warga Desa Bebanas.
✔ Pemerintah Kabupaten Nunukan harus segera menyelesaikan permohonan enclave yang telah diajukan sejak 7 Mei 2025.
✔ Tidak ada lagi intimidasi dan perampasan hak atas tanah masyarakat adat.

Masyarakat mengingatkan bahwa ini bukan hanya soal kepemilikan lahan, tetapi soal kelangsungan budaya dan kehidupan masyarakat adat yang telah tinggal di wilayah ini selama Ratusan tahun.

Pemerintah Nunukan harus bertindak cepat
Pemerintah Kabupaten Nunukan menerima permohonan enclave dari masyarakat pada 7 Mei 2025, yang diserahkan langsung kepada Wakil Bupati Nunukan. Namun, hingga kini belum ada tindakan nyata terkait penyelesaian kasus ini.

Masyarakat menilai bahwa jika pemerintah tetap tidak serius dalam menangani masalah ini, maka Kabupaten Nunukan berpotensi menghadapi ketidakstabilan sosial dan ekonomi.

Potensi Krisis Sosial dan Investasi di Nunukan

Demonstrasi yang terus berlanjut bisa memperburuk kondisi investasi di Kabupaten Nunukan. Jika sengketa lahan tidak diselesaikan segera, perusahaan-perusahaan sawit bisa menghadapi tekanan lebih besar dari masyarakat. Tidak hanya itu, ketegangan sosial yang meningkat dapat menyebabkan instabilitas regional, yang berisiko memperlambat pertumbuhan ekonomi daerah.

“Jika tidak ada solusi, kami akan kembali turun ke jalan dengan jumlah massa yang lebih besar!” seru Nick Berdy selaku Kepala Adat Desa Bebanas. (WIRA/DPro)

Komentar

Related Articles

Back to top button