Nunukan

Amrin Sitanggang : “Ada ‘Bom Waktu’ di Kecamatan Tulin Onsoi

Terkait Tumpang Tindih Lahan HPL Transmigrasi Dengan Lahan Masyarakat

NUNUKAN – Jika tidak segera diselesaikan, permasalahan tumpang tindih lahan transmigrasi di Kecamatan Tulin Onsoi, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, bisa menjadi ‘bom waktu’ yang sewaktu-waktu akan meledak dan menimbulkan permasalahan besar.

Begitu dikatakan Anggota DPRD Nunukan asal Kecamatan Sebuku, Amrin Sitanggang dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan sejumlah Kepala Desa dari Kecamatan Tulin Onsoi yang datang menyampaikan aspirasi mereka ke gedung DPRD Nunukan, Senin (21/03/2022).

Diketahui, sejumlah Kepala Desa (Kades) di Kecamatan Tulin Onosi didampingi pejabat Camatnya, Kristoforus Balake, saat itu menyampaikan aspirasi mereka terkait tumpang tindih lahan masyarakat dengan kawasan Hak Pengelolaan (HPL) transmigrasi ke DPRD Nunukan.

Penyampaian aspirasi melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang dipimpin langsung oleh Ketua DPRD Nunukan, Hj Rahma Leppa yang berlangsung tersebut juga dihadiri Kepala Dinas Transmigrasi Nunukan serta perwakilan dari Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Dalam penjelasannya, Kristoforus Balake menyebutkan, wilayah Kecamatan Tulin Onsoi memang merupakan tujuan kedatangan warga luar daerah melalui program transmigrasi tahun 1989.

Namun dalam pelaksanaanya, luasan Hak Pengelolaan (HPL) untuk warga transmigrasi tersebut tumpang tindih dengan lahan masyarakat lokal.

Menurut Kristoforus, lahan transmigrasi Satuan Permukiman (SP) 1, SP 2 dan SP 4 berada di wilayah Kecamatan Tulin Onsoi. Sedangkan SP 3 berada di Kecamatan Sebuku.

Seiring berkembangnya jumlah penduduk, lanjutnya, masyarakat lokal mulai merasakan kesulitan menggunakan lahan, baik untuk bercocok tanam ataupun membangun rumah.

“Karena kebanyakan lahan-lahan yang digarap masyarakat lokal tersebut diklaim masuk dalam kawasan HPL transmigrasi atau Kawasan Budidaya kehutanan (KBK) dan Hutan Lindung,” kata Kristoforus.

Menurut dia, setidaknya 12 desa di Kecamatan Tulin Onsoi yang wilayahnya dikuasai HPL transmigrasi. Jika tidak masuk dalam HPL, maka lahan tersebut berada di kawasan Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan perkebunan Sawit PT. Karangjuang Hijau Lestari (HKL) atau PT Tirta Madu Sawit jaya (TMSJ)

“Kami berharap Pemerintah mengeluarkan HPL transmigrasi agar lahan yang ada dapat dikelola masyarakat setempat,” terang Kristoforus lagi.

Karena ketidaktahuan masyarakat penduduk lokal tentang batasan luas lahan milik transmigrasi, banyak dari lahan HPL transmigrasi tersebut dikelola masyarakat untuk berkebun sawit. Masyarakat masih menyangka lahan-lahan tersebut masih milik nenek moyang mereka sebelum program transmigrasi dibuka.

Andaikan benar lahan dimaksud milik transmigrasi, masyarakat berharap pemerintah mempertimbangkan nasib mereka sebagai warga lokal yang sudah tidak lagi memiliki lahan baik untuk berkebun maupun membangun permukiman.

Kepala Seksi Survei dan Pengukuran di BPN Nunukan, Sugi Mulyono dalam kesempatan itu mengaku pihaknya secara resmi belum menerima permohonan ataupun laporan terkait tumpang tindih HPL transmigrasi dengan lahan masyarakat di desa-desa yang ada di Kecamatan Tulin Onsoi.

Karenanya, pihaknya berharap bersama DPRD Nunukan dapat melihat kembali terkait persoalan tumpang tindih lahan seperti aspirasi yang disampaikan masyarakat tersebut.

Dalam penjelasannya lebih lanjut, Amir Sitanggang menyebutkan, persoalan tumpang tindih lahan yang dimaksudkan masyarakat itu berada di SP 3 dan SP 4. Termasuk plasma perkebunan dan perwakilan perusahaan yang ada di sana.

“Masalah ini sebenarnya sudah cukup lama terjadi. Bisa menjadi semacam ‘bom waktu’ yang sewaktu-waktu akan meledak dan menimbulkan persoalan besar,” katanya.

Dijelaskannya, HPL transmigrasi yang dibuat 20 tahun tahun lalu menggunakan foto satelit udara. Hasil pengukuran seperti itu, tidak seakurat perangkat ukur Global Positioning System (GPS) yang bisa mengetahui titik koordinat.

Pengukuran dengan cara foto satelit tersebut ternyata tidak hanya memasukan lahan-lahan masyarakat lokal ke dalam HPL transmigrasi atau HGU perusahaan. Bahkan memasukkan juga lokasi bangunan sekolah, gedung Rumah Sakit Pratama, Kantor Desa, dan pemukiman rumah warga.

“Sebelum pemekaran kecamatan, wilayah Tulin Onsoi dulunya berada alam wilayah Kecamatan Sebuku. Setelah pemekaran, lokasi transmigrasi terbagi menjadi 2 kecamatan,” bebernya.

Menanggapi persoalan ini, Ketua DPRD Nunukan Hj, Rahma Leppa bersama sejumlah anggota DPRD Nunukan yang hadir sepakat membuat rekomendasi kepada Pemerintah Daerah agar menindaklanjuti permasalahan ini.

“Kesimpulan RDP hari ini, meminta kepada Pemerintah Daerah secepatnya mencari solusi penyelesaiannya. Jika memungkinkan, keluarkan lahan-lahan kosong transmigrasi untuk masyarakat,” tegas Rahma. (BIAZ/DIKSIPRO)

Komentar

Related Articles

Back to top button