Nunukan

Gelombang Krisis Agraria Tulin Onsoi Kian Berlanjut

Warga Adat Besar Sungai Tulin Bergerak Menuntut

NUNUKAN – Lebih saratus warga adat dari sembilan desa di Kecamatan Tulin Onsoi, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, memulai sebuah demonstrasi massif pada Senin (26/5) pagi waktu setempat. Aksi kolektif ini dipimpin oleh dua tokoh sentral masyarakat adat, Kepala Adat Besar Basuat bin Batulis, bersama dengan Wakil Kepala Adat Besar Tulin Onsoi, Sibrianus Sati.

Mereka memobilisasi partisipasi aktif dari warga Desa Kalunsayan, Sekikilan, Tembalang, Salang, Tinampak I, Tinampak II, Tau Baru, Balatikon, dan Naputi, yang secara serentak menyuarakan ketidakpuasan terhadap praktik-praktik perusahaan perkebunan yang dinilai mengabaikan hak-hak tradisional mereka.

Latar belakang fundamental dari demonstrasi ini menurut Sibrianus Sati berakar pada tumpang tindihnya klaim HGU PT KHL yang secara sepihak mencaplok wilayah pemukiman, lahan garapan, dan bahkan areal pinggir jalan provinsi yang secara historis merupakan bagian integral dari wilayah adat Tulin Onsoi.

Selain itu mereka juga ingin menegaskan kembali tuntutan mereka terhadap hak-hak agraria yang terampas oleh klaim Hak Guna Usaha (HGU) PT Karangjoang Hijau Lestari (KHL) serta persoalan kemitraan dan skema plasma dengan PT Tirta Madu Sawit Jaya.

“Kami juga menyoroti kegagalan pihak Perusahaan dalam merealisasikan janji skema plasma yang sejatinya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi warga, namun hingga kini implementasinya dinilai jauh dari harapan,” ungkap Sibrianus Sati

Menurut Wakil Kepala Adat Besar Sungai Tulin ini ketiadaan Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) dalam proses penetapan HGU dan ketidaktransparan dalam pengelolaan skema plasma, mengindikasikan adanya praktik yang mengabaikan prinsip keadilan agraria dan hak asasi manusia.

Dampak sosial-ekonomi dari konflik semacam ini sangat signifikan, mencakup potensi hilangnya mata pencarian tradisional, degradasi lingkungan akibat monokultur, dan bahkan pergeseran kohesi sosial di dalam komunitas. Oleh karena itu, penyelesaian konflik harus melampaui dimensi hukum semata, merangkul aspek keadilan distributif, restoratif, dan keberlanjutan ekologis.

Insiden ini mengilustrasikan kompleksitas persoalan penguasaan dan pemanfaatan tanah di Indonesia, di mana hak-hak konstitusional masyarakat adat kerap berhadapan dengan kepentingan investasi korporasi.

Sati, sapaan akrab Wakil Ketua Adat Besar Sungai Tulin ini juga menegaskan bahwa Konflik agraria di Tulin Onsoi ini menyoroti peran krusial negara sebagai regulator dan penjamin hak-hak warga negara. Lambatnya respons atau keberpihakan terhadap kekuatan modal seringkali memperparah ketimpangan struktural, memaksa masyarakat untuk menggunakan jalan demonstrasi sebagai upaya terakhir untuk menarik perhatian publik dan tekanan politik.

“Kasus ini memerlukan intervensi serius dari pemerintah pusat dan daerah untuk memverifikasi ulang batas-batas HGU, mengevaluasi kembali skema plasma yang berjalan, dan secara fundamental mengakui serta melindungi hak-hak masyarakat adat Tulin Onsoi. Tanpa pengakuan resmi terhadap wilayah adat, posisi tawar masyarakat dalam negosiasi seringkali melemah”, tegas Sati.

Pemerintah daerah dan pihak perusahaan diharapkan dapat segera merespons tuntutan masyarakat adat Tulin Onsoi secara konstruktif dan proporsional, demi mencegah eskalasi konflik yang lebih luas serta mencapai solusi yang adil dan berkelanjutan bagi semua pihak yang terlibat.

Makam Yaki Umbus, Pangeran Pertama Masyarakat Adat Besar Sungai Tulin. (SEMION)

Aksi ini diawali dengan ritual memohon restu di makam Yaki Umbus yang merupakan Pangeran Pertama Masyarakat Adat Besar Sungai Tulin di Desa Kalunsayan, ritual ini juga menandai eskalasi konflik agraria yang telah berlarut-larut di wilayah tersebut.

Tindakan masyarakat adat untuk memulai aksinya di Makam Leluhur bukanlah sekadar seremonial, melainkan sebuah manifestasi simbolis dari ikatan genealogis dan spiritual mereka dengan tanah.

“Ritual ini menegaskan bahwa perjuangan kami bukan hanya tentang aset material, melainkan juga tentang pelestarian identitas budaya, warisan leluhur, dan keberlanjutan hidup komunal di tengah tekanan modernisasi dan ekspansi industri”, pungkas Sati. (WIRA/DPro)

Komentar

Related Articles

Back to top button