
NUNUKAN – Banjir bandang melanda Kecamatan Lumbis Hulu, Kabupaten Nunukan yang terjadi pada Jumat (10/1/2025) lalu dipastikan sebagai masalah pelik yang sulit terselesaikan.
Alasannya, cikal bakal bencana alam yang terjadi itu merupakan luapan air sungai berasal dari luar negara, yakni Malaysia. Sedangkan sejumlah wilayah yang mendapatkan dampak buruknya, sejumlah daerah di pedalaman Kabupaten Nunukan yang berada di kawasan perbatasan antara kedua negara.
Akibatnya, seperti dikatakan Kepala BPBD Nunukan, Arief Budiman, Pemerintah Daerah Kabupten Nunukan selalu menyiagakan dana Belanja Tidak Terduga (BTT) sekitar Rp 30 miliar untuk bantuan pasca banjir.
Dalam tiga tahun terakhir, banjir bandang terbesar terjadi pada September 2023. Banjir dengan ketinggian air mencapai 5 meter di areal permukiman penduduk jugaa merendam fasilitas umum, sekolah dan Kantor Camat.
“Data kami mencatat sepuluh desa di Kecamatan Sembakung terdampak parah. Diantaranya, Desa Manuk Bungkul, Desa Atap, dan Desa Lubakan,” kata Arief Budiman.
Rutinitas banjir kiriman dari Malaysia, dikatakan Arief yang terjadi setiap tahun melanda sejumlah wilayah pelosok di pedalaman dan perbatasan RI–Malaysia adalah Kecamatan Lumbis Pansiangan, Lumbis Hulu, hingga Kecamatan Sembakung.
Terbaru, lanjut Kepala BPBD Kabupaten Nunukan ini, banjir bandang melanda Kecamatan Lumbis Hulu, wilayah terisolir di Perbatasan RI–Malaysia, di Kabupaten Nunukan pada, Jumat (10/1/2025) terjadi sekitar Pk. 03.00 WIB dini hari saat warga sedang tidur lelap.
Bahwa penyebab bencana alam yang merugikan wilayah negara RI, dalam hal ini Kabupaten Nunukan tersebut adalah ‘kiriman’ dari negara Malaysia, penggundulan hutan yang dieksploitsi menjadi perkebunan kelapa sawit di sejumlah kawasan perbatasan di negeri jiran tersebut sehingga minimnya hutan tidak mampu menyerap air hujan mengakibatkan banjir yang tidak terkawal.
“Berbeda dengan hutan di wilayah negara kita yang kondisinya masih alami,” tegas Arief.
Tidak tinggal diam pada kondisi tersebut, lanjut Arief, Pemerintah Daerah Kabupaten Nunukan mengangkat persoalan tersebut untuk dibahas pada pertemuan bilateral kedua negara, pertemuan Sosial Ekonomi Malaysia-Indonesia (Sosek Malindo) di Balikpapan, Kalimantan Timur. Dalam momen tersebut, banjir kiriman Malaysia menjadi salah satu isu krusial dalam Sosek Malindo.
Tapi nyatanya tidak ada upaya dari pihak Malaysia menyambut positif meyikapi persoalan tersebut. Malah meminta pembuktian dari lontaran tuduhan tersebut.
Hingga akhir tahun 2024 kata Arif, tidak ada penetapan tanggap darurat dari pihak Malaysia sebagai upaya mengatasi musibah alam kiriman dari wilayah negara mereka. (ADHE/DIKSIPRO)