
NUNUKAN – Tindak pelecehan seksual terhadap anak di Nunukan akhir-akhir ini diakui terjadi cukup masif. Banyak kasus yang terjadi begitu menyita perhatian publik. Lantaran banyak di antarnya terjadi di dalam lingkungan rumah sendiri serta pelakunya justru orang terdekat atau masih memiliki hubungan keluarga dengan korbannya.
Berdasar data tercatat pada Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DSP3A) Kabupaten Nunukan, sejak Januari hingga Oktober tahun 2024 terjadi 31 kasus kekerasan seksual di daerah ini yang meliputi eksploitasi dan kekerasan fisik terhadap anak.
Seperti dikatakan Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak, DSP3A Kabupaten Nunukan, Endah Kurniawati, hal yang paling ekstrem dalam kasus pelecehan anak adalah pelakunya itu orang terdekat. Bisa dari lingkungan keluarga sendiri, kerabat keluarga hingga tetangga. Selasa (19/11/2024), pukul 15.00 Wita.
Beberapa penyebab yang melatarbelakangi sehingga kasus anak rentan menjadi korban pelecehan atau kekerasan seksual, seperti kebanyakan ditangani selama ini, menurut Endah di antaranya faktor ekonomi, pola asuh orang tua, pergaulan bebas. Namun salah satu penyebab lainnya yang perlu mendapat perhatian serius, kebiasaan menonton atau melihat hal yang mengandung unsur pornografi lewat smartphone berpengaruh buruk pada psikis anak.
“Kadang pola asuh orang tua di dalam rumah sudah benar. Tapi lingkungan pergaulan anak di luar rumah yang terlalu bebas, bisa jadi masalah. Jangan tertipu dengan penampilan anak yang pendiam di rumah. Sementara banyak hal negatif di luar rumah yang dia dapatkan dari pergaulan di luar rumah,” kata Endah.
Dicontohkan, kasus pelecehan seksual yang dialami anak perempuan di dalam rumahnya saat sendiri. Akibat tidak menggunakan pakaian dalam dan melakukan hal kurang pantas. Bahwa perbuatannya itu tanpa disadarinya diketahui oleh pemuda tetangga yang secara diam-diam merekamnya dengan menggunaan kamera ponsel.
Diterangkan, ibu korban bersikeras bahwa anak perempuannya itu tergolong anak rumahan. Tapi tidak mengetahui tontonan seperti apa yang dilihat anaknya melalui fasilitas handphone yang dimiliki.
Informasi lain diperoleh, adanya seorang anak perempuan di Nunukan, sejak SMP sudah biasa melayani hasrat pria hidung belang dengan imbalan uang bayaran berkisar antara Rp 300 ribu hingga Rp 800 ribu.
“Anak perempuan itu akhirnya putus sekolah menjelang masuk ke jenjang pendidikan SMA. Kedua orang tuanya bercerai. Anak ikut tinggal dengan ibu yang bekerja serabutan dengan penghasilan tidak tetap. Akibat pergaulan bebas dan gaya hidup si anak berlebihan, tidak menyesuaikan dengan kondisi ekonomi keluarga, akhirnya mengambil jalan pintas mengorbankan dirinya” kata Endah lagi.
Peristiwa kekerasan seksual lainnya terhadap anak yang cukup miris terjadi, seperti yang terjadi di Sebatik dengan pelaku adalah paman korban sendiri. Begitu juga kasus anak perempuan yang sejak kelas 1 SD sudah mengalami tindak pelecehan seksual dilakukan oleh teman kakeknya.
Ketiga kasus terjadi di wilayah Kabupaten Nunukan di atas, lanjut Endah, sempat menarik perhatian Unit Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak Provinsi Kalimantan Utara lalu melakukan konferensi guna menyikapi kasus-kasus serupa yang terjadi.
Selain data kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur, dari Kabid Perlindungan Perempuan dan Anak pada DSP3A Kabupaten Nunukan ini juga diperoleh data tindak kekerasan terhadap Perempuan.
Sejak bulan Januari hingga Oktober 2024 terdapat 6 kasus yang menjadikan perempuan sebagai korban kekerasan dan eksploitasi. Sedangkan untuk korban Kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) ada 2 kasus dengan jenis kelamin perempuan (20 tahun) dan laki-laki (19 tahun). (ADHE/DIKSIPRO)