Orang tua dan masyarakat sedang diresahkan dengan perkembangan perilaku menyimpang seksual, yakni perkawinan sesama jenis, yang bahkan saat ini sudah dilegalkan di beberapa negara Barat, seperti Amerika, Jerman, Brasil, Swedia, Argentina, Prancis, Australia dan lainnya, yang berjumlah sekitar 32 negara.
Berbagai negara lain pun mendapatkan pengaruh dan tuntutan yang sama, untuk melegalisasi pernikahan sesama jenis ini, termasuk Indonesia. Mereka biasa dikenal dan mempopulerkan diri sebagai kaum LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender).
Perkembangan pengesahan LGBT di Amerika berlangsung sangat cepat. Tahun 2013, untuk pertama kalinya, Katedral Nasional AS melaksanakan perkawinan sejenis, dan pada tahun 2015 AS mengesahkan perkawinan sesama jenis sebagai hal yang legal dalam negara. Bahkan pada tahun 2003, dunia digemparkan dengan terpilihnya Gene Robinson sebagai Uskup Gereja Anglikan di New Hampshire. Hal tersebut merupakan pertama kalinya seorang pelaku homoseksual menduduki jabatan tertinggi dalam hierarki gereja selama 2000 tahun dalam sejarah Kristen. Sedangkan ketetapan Bible pada (Imamat, 20:13), sangat jelas menyebutkan bahwa pelaku kawin sesama jenis, merupakan perbuatan keji dan wajib dihukum mati.
Robinson (56 tahun) memang telah dikenal sebagai pelaku homoseksual, yang secara terang-terangan telah hidup bersama pasangan homoseksnya bernama Mark Andrew selama 14 tahun. Sehingga sebelum ia menjadi tokoh gereja, sebenarnya publik telah mengetahui tentang perilakunya. (Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Liberal. Jakarta: Gema Insani, 2005, hlm.8)
Akhir Mei 2015, dunia juga digemparkan dengan hasil referendum yang melegalkan perkawinan sesama jenis, di Irlandia yang merupakan negara berpenduduk mayoritas Katolik. Vatikan akhirnya memberikan reaksi keras atas keputusan itu, dan menyebutkan bahwa ia bukan hanya sebagai kekalahan prinsip-prinsip Kristen di Irlandia, namun juga sebagai kekalahan bagi kemanusiaan. Demikian juga yang terjadi sebelumnya di negara berpenduduk Katolik, seperti di Spanyol, Belanda dan Belgia yang telah lebih dulu melegalkan perkawinan sesama jenis.
Di kalangan Yahudi, praktik homoseksual juga menggurita. Israel dalam satu acara perkumpulan yang digalang oleh kelompok homoseksual/lesbian (Agudah) dan tokoh Partai Likuid yang sebelumnya menentang keras praktik homoseksual, akhirnya ikut mendukung agenda kaum homoseksual tersebut.
Indonesia juga tidak luput menjadi mangsa kampanye kaum LGBT. Mereka mengusung slogan “Indonesia tanpa diskriminasi,” untuk menjadi pintu masuk pengesahan perkawinan sesama jenis. Sebagaimana yang disebutkan dalam dokumen “The Yogyakarta Prinsiples” yang ditetapkan di Yogya pada tahun 2006, yang menyatakan bahwa negara-negara di dunia kini dituntut untuk menghilangkan diskriminasi berdasarkan atas perbedaan gender atau orientasi seksual (seperti homoseksual, heteroseksual, biseksual dan lainnya).
Prinsip-prinsip ini dikembangkan pada pertemuan Komisi Ahli Hukum Internasional, International Service For Human Right, oleh 29 Ahli Hak Asasi Manusia dari 25 negara, di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada tanggal 6-9 November 2006. Dokumen penutup berisi 29 prinsip yang diadopsi dengan kesepakatan para ahli, bersama dengan rekomendasi kepada pemerintah, lembaga antar pemerintah daerah, masyarakat sipil dan PBB. Piagam Yogyakarta ini kemudian menjadi pedoman penting bagi banyak aktivis LGBT atau kaum pelangi, di Indonesia dan seluruh dunia.
Dr. Adian Husaini, Cendikiawan Muslim Indonesia dan Ketua Dewan Da`wah Islamiyyah Indonesia (DDII) dalam bukunya “LGBT di Indonesia, Perkembangan dan Solusinya” yang diterbitkan tahun 2015 oleh INSISTS Jakarta, telah mengingatkan bahwa persoalan LGBT di Indonesia telah memasuki kondisi yang sangat mengkhawatirkan.
“Di masyarakat luas, promosi dan kampanye homoseksual berlangsung sangat masif di berbagai media massa. Sebagai sebuah negeri Muslim terbesar, Indonesia menjadi ajang pertaruhan penting perguliran kasus ini. Padahal ibarat penyakit, masalah sudah semakin kronis, karena belum mendapat terapi serius”
Kaum LGBT sedang berusaha agar dapat diterima secara setara dengan kaum heteroseksual (yang menyukai lawan jenis). Mereka menyebutkan bahwa orientasi seksual sesama jenis, sama saja dengan orang yang memiliki orientasi lawan jenis. Sehingga menuntut untuk diakui dan disahkannya perkawinan sesama jenis. Hal tersebut juga mendapatkan legitimasi dalam text book Diagnostic and Statitical Manual of Mental Disorder (DSM) yang disusun oleh American Psychiatric Association (APA), yang menyatakan bahwa homoseksual bukan suatu gangguan mental atau kejiwaan.
Jika pada DSM-I dan DSM-II homoseksual masih dianggap sebagai mental disorder atau gangguan jiwa, yang disepakati oleh 90% anggota APA, maka pada DSM-IV keadaan menjadi berbalik, ketika hanya tersisa 10% anggota APA yang mendukung homoseksual sebagai sebuah penyimpangan. Sehingga terjadi upaya normalisasi homoseksual oleh berbagai kalangan, agar homoseksual dapat diterima secara normal dan positif oleh negara dan masyarakat.
Salah satu pasangan homoseksual, Ragil Mahardika dan Frederik Vollert sempat viral dan ditonton oleh jutaan orang di Indonesia, saat diundang dalam acara podcast Deddy Corbuzier dengan judul yang provokatif “Tutorial Jadi G4y di Indo!!”. Ia juga pernah mengundang narasumber Chika Kinsky yang membagikan kisah lesbiannya, yang kemudian dihapuskan dari konten youtube Deddy, setelah mendapatkan banyak penolakan dari berbagai kalangan.
KH. Cholil Nafis, Ketua bidang Dakwah dan Ukhuwah MUI Pusat saat menanggapi promosi homoseksual di media tersebut, dengan mengatakan “LGBT itu harus diamputasi bukan ditoleransi” pada senin (9/5/2022). Beliau juga menjelaskan bahwa LGBT merupakan sebuah ketidaknormalan. Tidak boleh dibiarkan atau disahkan dengan dalih toleransi serta hak asasi. Kaum LGBT memang suka berlindung di balik isu HAM, sedangkan kelompok yang menentang homoseksual pun distigma sebagai penindas HAM.
Tantangan terberat kaum LGBT untuk mengkampanyekan pengesahan perkawinan sesama jenis, yang utama memang datang dari kalangan agamawan, dan saat ini mereka sedang berhadapan dengan agama-agama. Tidak hanya Islam, setelah legalisasi perkawinan sejenis yang terjadi di AS, Gereja Katolik di Indonesia pun menolak jika peristiwa itu terjadi di Indonesia. Menurut Benny Susetyo, rohanian Pastor Katolik, perkawinan sesama jenis bertentangan dengan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa.
Namun disamping itu, tidak sedikit pula dari kalangan agamawan dan akademisi, yang memiliki pemikiran sekuler-liberal, yang berusaha menghapus dan mendekonstruksi hukum-hukum yang sudah pasti (qath`i) tentang larangan pernikahan sesama jenis dalam agama, sebagai hal yang menurut mereka masih bisa berubah dan berbeda, sebagaimana banyak dialami oleh kaum agamawan di Barat.
Indonesia pernah dikagetkan oleh seorang dosen UIN Jakarta, Prof. Dr. Musdah Mulia, yang secara terang membuat statemen yang menghalalkan homoseksual. Seperti yang dimuat dalam The Jakarta Post, Musdah Mulia menyatakan bahwa homoseksual dan homoseksualitas adalah alami dan diciptakan oleh Tuhan, karena itu dihalalkan dalam Islam. Hal demikian tidak pernah terjadi sebelumnya dan bertentangan dengan hukum yang sudah menjadi ijma para ulama selama berabad lamanya. (Adian Husaini, Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam. Gema Insani: Jakarta, 2010, hlm.210)
Ia melakukan liberalisasi dalam agama, menghalalkan apa yang sudah diharamkan dalam agama, dan membenarkan sesuatu yang seharusnya salah. Hal ini lebih berbahaya, karena dapat menyebabkan kekufuran dan semakin menjerumuskan kaum LGBT ke dalam kegelapan, tanpa jalan untuk kembali pada kebaikan dan kebenaran.
Jika kaum LGBT yang masih memandang bahwa perbuatannya keliru, serta mengakui ia telah berbuat salah dan dosa dengan melakukan perilaku menyimpang seksual, memungkinkan untuk bertobat dan berubah. Namun dengan dalih dari agamawan dan ahli, kaum LGBT mendapatkan pembenaran serta bangga untuk tetap melakukan dan mengembangkan perbuatan menyimpangnya. Padahal, promosi kemungkaran bisa lebih berat nilai dosanya dibandingkan dengan pelaku yang menyadari dan mengakui status dosa dari perbuatannya.
Dalam Islam, menyukai lawan jenis merupakan hal yang sehat dan normal sesuai dengan ketentuan syariat. Namun homoseksual atau lesbian adalah penyakit, yang disebut sebagai liwath. Ia merupakan bagian dari dosa besar, serta keluar dari fitrah manusia yang normal dan suci. Hal tersebut sejalan dengan pandangan medis yang banyak menyebutkan bahwa homoseks dan lesbi merupakan pemicu dan sebab yang besar terjadinya penyakit menular berbahaya seperti Siphilis, Gonorrhoea dan AIDS.
Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda “Allah melaknat siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum nabi Luth. Allah melaknat siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Nabi Luth, beliau sampaikan hingga tiga kali” (HR. Ahmad). “Sesungguhnya hal yang paling aku takutkan menimpa umatku adalah perbuatan kaum Luth” (HR.Tirmidzi dan Ibn Majah)
Prof. Buya Hamka menjelaskan dalam Tafsir Al Azhar, bagaimana merusaknya penyakit “kaum Luth” sehingga mereka diadzab sangat berat oleh Allah. Kemudian beliau menyebut bahwa perilaku seksual antar sesama jenis ini lebih rendah martabatnya dibandingkan hewan.
Binatang saja, sebut Buya Hamka, masih tahu mana lawan jenisnya. Lalu beliau mengutip sebuah hadist Rasulullah: “….dan apabila telah banyak kejadian laki-laki mendatangi laki-laki, maka Allah akan mencabut tangan-Nya dari makhluk, sehingga Allah tidak memperdulikan di lembah mana mereka akan binasa.” (HR. Tirmidzi dan at Tabhrani)
“Siapa menjumpai orang yang melakukan perbuatan homo seperti kelakuan kaum Luth maka bunuhlah pelaku dan objeknya” (HR.Ahmad dan Abu Daud)
Imam Syafii berpendapat, pelaku lesbian, baik muhshan atau bukan, mendapatkan hukuman rajam, dilempari batu sampai mati. Buya Hamka juga menulis dalam tafsirnya tentang pasangan homoseksual yang tertangkap tangan “Sahabat-sahabat Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam yang diminta pertimbangannya oleh Sayyidina Abu Bakar ketika beliau menjadi khalifah, apa hukuman bagi kedua orang yang mendatangi karena pernah ada yang tertangkap basah, semuanya memutuskan keduanya wajib dijatuhi hukuman mati” (Tafsir al Azhar, Juz 8).
Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah menerbitkan fatwa yang tegas tentang bahaya LGBT pada tahun 2014. Fatwa nomor 57 tahun 2014 tentang Lesbian, Gay (homoseksual), Sodomi, dan Pencabulan. Beberapa poin pentingnya yang perlu kita simak dalam butir fatwanya:
1) Hubungan seksual hanya dibolehkan bagi seseorang yang memiliki hubungan suami isteri, yaitu pasangan lelaki dan wanita berdasarkan nikah yang sah secara syar`i.
2) Orientasi seksual terhadap sesama jenis adalah kelainan yang harus disembuhkan serta penyimpangan yang harus diluruskan.
3) Homoseksual, baik lesbian maupun homoseksual hukumnya haram, dan merupakan bentuk kejahatan (jarimah).
4) Pelaku homoseksual -termasuk lesbian dan biseksual- dikenakan hukuman hadd dan atau ta`zir oleh pihak berwenang.
5) Sodomi hukumnya haram dan merupakan perbuatan keji yang mendatangkan dosa besar (fahisyah).
6) Pelaku sodomi dikenakan hukuman ta`zir yang tingkat hukumannya maksimal hukuman mati.
Bangsa Eropa yang saat ini banyak mengusung slogan kebebasan yang liberal, juga sedang mengalami penurunan jumlah manusia, dan diprediksikan akan mengalami keruntuhan peradaban, akibat semakin kecilnya angka kelahiran manusia, yang tidak sebanding dengan angka kematian. Hal tersebut salah satunya disebabkan karena semakin berkembang dan banyaknya masyarakat yang memilih hidup sebagai lesbian, homosekual, feminisme, hingga budaya childfree –pasangan yang ingin bebas tanpa memiliki anak- yang belakangan juga mulai populer.
Masyarakat di Barat sedang mengalami penurunan moral dan penyimpangan kebudayaan. Mereka lebih mementingkan memenuhi nafsu dan idealitasnya untuk menjalin hubungan bebas tanpa memikirkan tujuan sakral dan utama dari peran pernikahan yang sesungguhnya. Akhirnya tidak ada keberlangsungan hidup melalui kelanjutan keturunan, sehingga cepat atau lambat akan meruntuhkan institusi utama dari sebuah bangsa dan peradaban, dengan hilangnya peran keluarga dan punahnya manusia.
Padahal kemanusiaan adalah meletakkan kedudukan dan martabat manusia sesuai dengan tempat dan kodratnya yang benar, sebagai individu, keluarga dan masyarakat yang saling berkaitan. Bukan menerima dan membenarkan penyimpangannya sebagai dalih kemanusiaan. Sedangkan negara tidak akan berjalan tanpa adanya kehadiran manusia yang menjadi asas, pelaku dan tujuan dalam kehidupan bangsa.
Jika umat Islam dan bangsa Indonesia khususnya yang selama ini menjunjung tinggi nilai hidup beragama, terpengaruh dan secara latah mengikuti budaya serta gaya hidup kaum LGBT sebagaimana di Barat, bahkan sampai melegalkannya. Maka akan dipastikan generasi akan rusak dan kelak akan menghancurkan bangsa serta peradaban.
Menurut Adian Husaini yang juga merupakan peneliti INSISTS dan ketua Program Doktor Pendidikan Islam di Univeritas Ibnu Khaldun Bogor, LGBT itu merupakan penyakit yang harus diobati, bukan dilegalkan dan dibenarkan sebagai sebuah kenormalan. Ia merupakan penyakit yang bisa menular. Sebab terbukti bahwa para pelaku LGBT ini mencari teman atau anggota, baik melalui media sosial, komunitas dan sebagainya. Sehingga beliau mengajak dan mengingatkan bahwa hal ini harus ditangani dengan serius dan dicegah dengan tegas oleh semua kalangan, khususnya dari tokoh-tokoh serta lembaga Islam.
Beliau juga mengusulkan agar dalam jangka pendek, pemerintah bisa membuat undang-undang yang lebih ketat dan kuat untuk mencegah dan melarang perilaku penyimpangan seksual serta aktivitas LGBT. Membentuk pusat kajian dan penanggulan LGBT di perguruan-perguruan tinggi yang melakukan penelitian serta konsultasi psikologi dan pengobatan bagi pengidap LGBT. Serta masjid-masjid besar dapat membuka Klinik LGBT yang memberikan bimbingan dan penyuluhan keagamaan kepada penderita LGBT.
“Kasus leluasanya kampanye besar-besaran legalisasi homoseksual dan dukungan terhadap kontes Miss Waria bisa dilihat sebagai satu gejala mulai lumpunya peran nahi munkar organisasi dan tokoh-tokoh Islam di Indonesia. Mungkin banyak tokoh sedang sibuk ngurus yang lain, atau sedang mengalami “kegagapan” dalam menghadapi arus globalisasi dan hegemoni media televisi yang saat ini menjadi “penguasa moral” dan penentu nilai-nilai moral baru di tengah masyarakat. Salah satu dampak globalisasi adalah lahirnya sikap “ketidakberdayaan” (powerless) yang gagap dan gamang dalam menyikapi kedigdayaan media informasi seperti TV -juga saat ini gawai-. Penjungkirbalikan nilai-nilai “haq atau kebenaran” dan “bathil” merupakan masalah paling serius yang dihadapi kaum Muslim saat ini. Harusnya, organisasi Islam besar, NU, Muhammadiyah, MUI, Al Irsyad, DDII, PKS, PPP, PBB, MIUMI dan sebagainya, memahami bahwa masalah pencegahan kemungkaran dalam bentuk perzinahan atau homoseksual, adalah persoalan besar dan serius, yang tidak kalah seriusnya dibandingkan masalah korupsi uang. Para tokoh organisasi itu pasti paham, beratnya sanksi perzinahan dalam Islam. Urusan menghentikan kemungkaran bukanlah hanya tugas organisasi tertentu”, tulis Adian Husaini.
Semua elemen masyarakat, tokoh dan pemerintah tidak boleh menganggap remeh permasalahan LGBT, yang sampai saat ini semakin meningkat, sehingga jangan sampai kelak mengundang keburukan yang lebih besar. Rasulullah mengingatkan “Tidaklah (sebagian) dari suatu kaum yang berbuat maksiat, dan di kalangan mereka ada orang yang mampu mencegahnya atas mereka, lalu dia tidak berbuat, melainkan hampir-hampir Allah meratakan dengan azab dari sisi-Nya”. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
Pakar kedokteran jiwa, Prof. Dr. Dadang Hawari, mengungkapkan keprihatinannya dengan semakin merebaknya fenomena homoseksual dan lesbian ini. Menurut Dadang Hawari, penyakit ini bisa diobati “Kasus homoseksual tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan melalui proses perkembangan psikoseksual seseorang terutama faktor pendidikan keluarga di rumah dan pergaulan sosial. Homoseksual dapat dicegah dan diubah orientasi seksualnya, sehingga seseorang yang semula homoseksual dapat hidup wajar lagi”.
Maka para orang tua, guru, pendidik, masyarakat dan pemerintah, harus memahami, bekerjasama dan menanamkan cara hidup yang baik dan benar kepada anak dan generasi muda. Kemudian cepat tanggap dan memberikan kewaspadaan terhadap bahaya LGBT yang mengajak dan mengkampanyekan perzinahan sesama jenis. Sebagaimana kini sedang gencar dipromosikan secara terbuka maupun terselubung dalam banyak konten media, film, musik, komunitas dan lainnya, serta terjadi dalam lingkungan masyarakat, lingkungan pendidikan bahkan tidak luput yang berbasis agama.
Kemudian menghindari dan mencegah hal-hal yang dapat mengarah pada perilaku penyimpangan seksual LGBT, melalui pemahaman dan pengamalan adab-adab dalam bergaul atau berinteraksi kepada lawan jenis dan sesama jenis, sesuai dengan norma dan nilai yang benar dalam agama. Sebagaimana yang telah banyak diajarkan oleh para ulama serta intelektual yang lurus dan konsisten -istiqomah- dari masa ke masa, untuk memandu generasi menjadi umat dan manusia terbaik bagi peradaban manusia. Bukan justru menghancurkan manusia dengan budaya jahiliyah yang dipoles agar tampak wajar dan seolah bahagia. Wallahu’alam bishawab.
Penulis merupakan Pengasuh Pesantren Al Izzah Nunukan dan Pegiat Pendidikan dan Pemikiran Islam.