NUNUKAN – Insiden kecelakaan laut di perairan dermaga tradisional Aji Putri–Bambangan, Senin (28/7), tidak hanya menimbulkan keprihatinan publik, tetapi juga membuka persoalan serius dalam penanganan informasi oleh dua lembaga pemerintah – KSOP IV Nunukan dan BPTD Kaltara.
Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Nunukan, Taslee, mengkritik keras lambannya akses informasi yang diterima media pascakejadian tersebut.
Taslee menilai bahwa prosedur birokratis seperti pengisian formulir permohonan dan tenggat lima hari kerja yang diberlakukan BPTD bertentangan dengan prinsip keterbukaan informasi publik. Ia menegaskan bahwa data yang diminta oleh wartawan terkait legalitas kapal, SPB, dan pengawasan pelayaran bukan kategori informasi yang dikecualikan menurut hukum.
Merujuk pada Pasal 4 ayat (3) Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, Taslee menegaskan bahwa pers memiliki hak konstitusional untuk memperoleh dan menyebarkan informasi. Menurutnya, perlambatan akses tersebut bukan hanya pelanggaran terhadap hak jurnalis, tetapi juga berimplikasi langsung pada efektivitas pengawasan publik di sektor transportasi laut.
Ia mengingatkan bahwa keselamatan pelayaran menyangkut nyawa manusia. Ketidaksinkronan antara KSOP dan BPTD dalam hal otoritas pengawasan menimbulkan kebingungan dan berisiko membuka celah pelanggaran, mulai dari kapal yang beroperasi tanpa izin hingga minimnya alat keselamatan yang tersedia.
Taslee mempertanyakan alasan di balik perlakuan prosedural yang setara antara wartawan dan pemohon informasi umum. Menurutnya, jurnalis bekerja dengan tenggat waktu dan kecepatan informasi yang jauh berbeda dibandingkan proses administratif biasa. Respons lembaga publik semestinya lebih adaptif terhadap kebutuhan jurnalisme.
Dalam banyak kasus, konfirmasi media bahkan berperan membantu lembaga publik mengoreksi persepsi masyarakat dan memperkuat kepercayaan publik. Dengan menutup akses informasi, instansi justru menjauhkan diri dari fungsi pelayanan yang transparan dan akuntabel.
Taslee mendorong dilakukannya evaluasi menyeluruh terhadap SOP pelayanan informasi di seluruh instansi pemerintah, terutama yang menangani isu strategis seperti pelayaran dan transportasi laut. Ia menyarankan dibentuknya protokol khusus dalam penanganan informasi kepada media.
Sebagai Ketua PWI, Taslee juga menyerukan kepada seluruh institusi publik di daerah agar membangun budaya komunikasi yang terbuka terhadap media. Ia menekankan bahwa media bukan ancaman, melainkan mitra dalam mewujudkan pemerintahan yang transparan dan berorientasi pada keselamatan publik.
Penutup pernyataan Taslee menegaskan inti dari kritiknya: “Menutup diri dari jurnalis sama artinya dengan menjauh dari rakyat. Sudah saatnya lembaga pemerintah melek media, karena transparansi bukan tambahan, tapi kewajiban.” (WIRA/DPro)