Foto : Kajari Nunukan, Yudi Prihastoro, SH., MH. (Diansyah/diksipro)
NUNUKAN – Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Nunukan Yudi Prihastoro, SH., MH, mengungkapkan, di tengah pandemi saat ini, negara tengah fokus terhadap kasus-kasus yang merugikan keuangan negara atau tindak pidana korupsi. Hal ini ditekankan kepada semua lembaga penegakan hukum, terutama di tubuh kejaksaan.
Dilanjutkan, kejaksaan saat ini memang digenjot dalam hal penyelamatan uang negara terkhusus bagi kasus tindak pidana korupsi. Hal ini tentu diharapkan dalam menanggulangi pandemi Covid-19.
“Negara sangat membutuhkan hal-hal seperti ini dan alhamdulillah kami bisa berkontribusi, sebab semoga saja negara tidak sampai kolaps dan ini yang terus kami upayakan di penegakan hukum,” ujarnya.
Sementara itu, Pakar Hukum Pidana dan Perdata dari Yayasan Lembaga Hukum (LBH) Lentera Pencari Keadilan (Lapan) Marihot GT Sihombing, SH mengatakan, pembayaran uang pengganti sebagai pidana tambahan yang diputuskan kepada pelaku tindak pidana korupsi, pada hakekatnya adalah sebagai upaya untuk mengembalikan kerugian keuangan negara yang diakibatkan oleh tindak korupsi.
Ia berpendapat bahwa, uang pengganti merupakan sejumlah uang yang dibebankan kepada pelaku tindak pidana korupsi dengan uang yang pernah dikorupsikan dengan jumlah sebanyak harta benda yang diperoleh dari korupsi tersebut.
“Pidana tambahan pembayaran uang pengganti perlu dituntut dan diputuskan pada setiap kasus tindak pidana korupsi sebagai salah satu upaya dari aparat penegak hukum untuk mengembalikan kerugian keuangan negara,” jelas Pembina LBH Lapan tersebut.
Upaya penegak hukum ini, masih menurut Marihot, sebenarnya sejalan dengan strategi pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia yang meliputi tindakan pencegahan, penindakan serta pengembalian keuangan negara.
Karenanya, tidak semata-mata hanya bertumpu pada banyaknya pelaku tindak pidana korupsi yang dipidana, tetapi terfokus kepada upaya mengembalikan kerugian keuangan negara melalui penjatuhan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti.
Menurut Marihot lagi, pengembalian kerugian keuangan negara dari tindak pidana korupsi melalui uang pengganti merupakan salah satu upaya penting dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Pengembalian tersebut tidaklah mudah karena tindak pidana korupsi merupakan Extra Ordinary Crimes yang pelakunya berasal dari kalangan intelektual dan mempunyai kedudukan penting.
Mengenai proses penyelesaian uang pengganti pada peraturan perundang-undangan tindak pidana korupsi juga memiliki perbedaaan. Diterangkannya, pada ketentuan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah diatur tiga upaya yang perlu dilakukan dalam penyelesaian uang pengganti
“Pertama, penyitaan dan pelelangan harta benda milik terpidana dan ahli warisnya setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht). Kedua, melalui putusan subsider pidana penjara, dan ketiga, melalui gugatan perdata dan administrasi keuangan,” terangnya.
Sedangkan pada Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, uang pengganti harus dibayar oleh terpidana dan apabila tidak dapat dibayar maka harus diproses lebih lanjut melalui gugatan perdata kepada ahli warisnya.
Artinya, lanjut Marihot, berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimungkinkan terpidana untuk mengganti dengan hukuman badan.
“Pilihan itu banyak dimanfaatkan atau dipilih oleh para terpidana karena masa hukumannya atau subsidernya yang relatif singkat,” pungkasnya. (dia/diksipro)