NUNUKAN – Tergiur upah kerja yang besar di Malaysia, sepasang suami istri asal Palopo, Sulawesi Selatan Syamsil (25) dan Tenri (22) malah terjebak pada praktik ilegal perdagangan orang di negeri jiran tersebut.
Akibatnya pasangan suami istri tersebut bersama seorang anak mereka yang masih kecil sempat mendekam di penjara di Malaysia setelah terjaring razia penertiban Pendatang Tanpa Ijin (PTI) di Malaysia, sebelum dipulangkan secara paksa ke Indonesia.
Satu keluarga ini adalah diantara 193 orang rombongan Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang dideportasi Pemerintah Malaysia pada Kamis, 21 Oktober 2021 karena didapati berada di negara Malaysia secara illegal.
Menurut Syamsil, dia bersama istri dan anaknya berangkat ke Malaysia pada tahun 2019 silam atas ajakan seseorang yang tidak dikenal menawarkan pekerjaan pada perkebunan kelapa sawit di Malaysia dengan upah sebesar RM. 1.500 atau setara dengan Rp. 4.500.000,- perbulan. Apalagi, dikatakan juga bahwa mereka berdua bisa bekerja dengan masing-masing penghasilannya.
“Sebelumnya, di Palopo saya bekerja di empang milik orang. Karena tawaran bekerja di Malaysia menjanjikan penghasilan yang lebih baik, saya sekeluarga memutuskan untuk merantau ke Malaysia,” cerita Syamsil.
Dengan susah payah pasangan suami istri ini akhirnya berhasil mengumpulkan uang sebesar Rp 5 juta untuk biaya perjalanan dan bekal menuju negeri jiran mengikuti ajakan orang yang menawarkan pekerjaan tersebut.
Namun setibanya di Malaysia, keduanya tidak kunjung mendapat pekerjaan tetap pada perkebunan sawit seperti yang dijanjikan orang yang membawa mereka. Maka pilihannya adalah melakukan pekerjaan serabutan dengan upah kecil agar dapat bertahan hidup.
“Dua tahun bekerja serabutan di perkebunan sawit di Malaysia tanpa dokumen keimigrasian yang sah agar bisa makan dan menyisihkan sedikit demi sedikit uang untuk baiaya pulang kampung,” kata Syamsil.
Upah yang diterima juga sangat kecil, jauh dibanding seperti yang dijanjikan oleh orang yang dulu mengajaknya ke Malaysia. Yakni hanya sekitar RM 700 perbulan atau jika di rupiahkan hanya sebesar Rp. 2.100.000.
“Bahkan upah yang didapatkan bisa lebih sedikit lagi. Tergantung banyak atau sedikit tandan buah sawit yang dipanen,” terang Tenri menambahkan cerita suaminya.
Menerima kabar ibundanya di kampung halaman meninggal dunia, mempercepat rencana Syamsir bersama keluarga untuk kembali ke Indonesia walau uang yang dikumpulkan belum terlalu memadai.
Untung tidak dapat diraih, malang tidak dapat ditolak. Dalam perjalanan menuju Kota Tawau untuk melanjutkan keberangkatan ke Nunukan itulah Syamsir bersama istri dan anaknya ditangkap di Kunak, dalam sebuah operasi penertiban pendatang illegal oleh petugas kemananan Malaysia.
Hingga akhirnya mereka bisa kembali ke Indonesia setelah dilakukan deportasi oleh Pemerintah Malaysia bersama ratusan PMI lainnya.
Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Nunukan mengaku sedang melakukan pendalapan dan pemeriksaan terkait dugaan eks PMI korban kasus TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang) di Malaysia.
Menurut Kepala Bagian Koordinator Perlindungan dan Pemberdayaan PMI, BP2MI Nunukan, Arbain saat ini mereka masih memeriksa 3 orang yang mengaku sebagai korban praktek perdagangan orang tersebut.
“Jika ditemukan bukti-bukti yang cukup, kasusnya akan diserahkan kepada pihak kepolisian untuk ditindaklanjuti,” terang Arbain
Seluruh PMI deportan ini didata keterangan identitas, riwayat hidup, daerah asal serta perkara hukum yangdialami di Malysia sebelum diberangkatkan ke kampung asal masing-masing.
Jika dalam pemeriksaan ditemukan hal yang perlu penanganan khusus, maka keberadaan PMI diserahkan ke instansi berwenang. Misalnya saja penanganan terhadap dua anak PMI yang di di deportasi tanpa orang tua.(BIAZ/DIKSIPRO)