Sungai Tulid Mengamuk, Empat Jiwa Bertahan di Satu Atap

Banjir Kiriman Malaysia ini juga Lumpuhkan 10 Desa

NUNUKAN Luapan Sungai Tulid berubah jadi ancaman nyata bagi warga di sepanjang bantaran sungai sejak pagi tadi Selasa (16/7/2025). Air datang tiba-tiba, kiriman dari hulu Sungai Tulid di wilayah Malaysia, menyapu lahan pertanian, sekolah, Kantor Desa dan rumah warga di sepuluh desa Kecamatan Tulin Onsoi: Semunad, Sekikilan, Kalunsayan, Tembalang, Salang, Naputi, Tinampak I, Tinampak II, Tau Baru, serta Balatikon.

Di Desa Tembalang RT. 01, seorang ibu rumah tangga dan sekaligus kepala keluarga, Juniati, menjadi potret nyata keteguhan warga menghadapi banjir. Ia tinggal bersama empat anaknya, Witati Lindasari, lulusan SMK; Roni, pelajar SMP; dan Ardion, murid SD. Anak sulungnya, Lenina, telah menikah dan tinggal terpisah.

“Mau kerja tidak bisa. Ubi rusak semua, kacang tanah hancur, sayur-sayur tenggelam. Ladang kami tenggelam semua sekarang,” ucap Juniati, sambil menatap halaman belakang rumah yang kini menjadi sungai.

Kini, dapur Juniati menyala hanya untuk menghangatkan tubuh anak-anaknya, bukan untuk memasak makanan dari ladang. “Kalau banjir belum surut, kami nggak tahu lagi mau makan dari mana,” katanya lirih.

Suasana Banjir di Desa Tembalang. (Kristo)

Ubi kayu yang selama ini jadi makanan pokok masyarakat setempat kini tak bisa dipanen. Komoditas lain seperti kacang tanah dan sayur mayur yang biasa ditanam warga juga tenggelam tanpa sisa. Beberapa warga bahkan mulai menyimpan batang pisang sebagai cadangan makanan darurat.

Kristo, warga Desa Tembalang yang turut terdampak, mengaku terkejut dengan kecepatan air masuk ke permukiman. “Subuh air masih tenang, tiba-tiba jam enam lebih air sudah sampai dapur. Ini bukan hujan biasa, tapi air kiriman dari hulu. Kami nggak tahu kapan datangnya,” ujarnya.

Ia juga menyampaikan bahwa banjir kiriman semacam ini bukan kali pertama melanda, namun tahun ini datang lebih cepat dan dengan volume lebih besar. “Air dari Malaysia itu kalau sudah turun, kami nggak sempat siaga. Seharusnya ada cara biar desa-desa di bawah bisa tahu duluan,” tambah Kristo.

Kristo menyebut Desa Tembalang sempat mengusulkan sistem peringatan lokal berbasis pemantauan warga adat di hulu sungai, tapi belum ada tindak lanjut. “Kami tahu sungai ini. Kalau naiknya cepat tapi nggak ada hujan lokal, itu pasti kiriman. Tapi sekarang semua warga terlalu sibuk bertahan, nggak sempat peringati yang lain.” terangnya.

Aktivitas sekolah lumpuh total. Beberapa guru pun tidak bisa masuk karena jalur menuju sekolah terputus. Siswa dari desa-desa terdampak terpaksa tinggal di rumah. Begitu juga para petani dan buruh harian yang menggantungkan hidup dari ladang.

Kristo berharap pemerintah segera turun langsung melihat kondisi warga dan memberikan bantuan pangan cepat saji, sembari membangun sistem informasi banjir kiriman lintas negara yang bisa diakses oleh warga desa.

“Jangan tunggu semua ladang hilang dulu baru datang bantuan. Kami butuh sinyal sebelum air datang.” ucapnya menggantungkan harapan kepada pemerintah. (WIRA/DPro)

Komentar
Exit mobile version