Oleh: H. Rachmat Rolau (Ketua DK-PWI Kaltara)
PERPECAHAN di tubuh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) itu bermula dari dana hibah Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), kurang lebih Rp 6 miliar. Dana itu dialokasikan untuk kegiatan uji kompetensi wartawan (UKW) se-Indonesia.
Pengurus PWI Pusat menerima dana tersebut hanya beberpa bulan pasca kepemimpinan Hendry Chairudin Bangun selaku ketua umum dikukuhkan atas hasil Kongres PWI XXV Bandung, Jawab Barat. Seiring berjalannya waktu, tiba-tiba ada penarikan uang dari rekening PWI sebesar Rp 1 miliar lebih.
Ketika aliran dana ditelusuri, Dewan Kehormatan PWI Pusat mencium ada yang kurang beres. Selain buat UKW, juga ada dana yang mengalir ke pihak lain yang dianggap berjasa atas pengurusan dana hibah itu, alias cashback.
Dari sinilah perpecahan dan dualisme kepemimpinan berawal. Puncak konflik semakin nyata ketika Zulmansyah Sekedang menerima dukungan sejumlah wartawan senior dan anggota Dewan Kehormatan PWI Pusat mulai tidak percaya pada kepemimpinan Hendry terkait cashback itu. Mereka lantas menggelar Konferensi Luar Biasa (KLB) PWI 2024 di Jakarta. Hasilnya, Zulmansyah terpilih.
Memeka adanya dualisme pimpinan PWI Pusat yang tidak sehat, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) meminta diadakan kongres guna mengakhiri konflik. Kubu Hendry hasil Kongres XXV tahun 2023 di Bandung bersama tim Zulmansyah Sekedang produk KLB sepakat membentuk panitia kongres.
Akhirnya, diputuskanlah kongres dipercepat 29-30 Agustus 2025 dengan tagline “Kongres Persatuan”. Terus terang, saya sebagai pribadi baru kali ini mendengar ada “kongres persatuan” yang saya sebut “kongres prematur”. Sebab, baru dua tahun usai kongres di Bandung, lalu kongres lagi.
Perpecahan di PWI Pusat tentu saja berdampak signifikan terhadap jalannya roda organisasi PWI di beberapa daerah. Salah satunya, PWI Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara). Secara struktural pegurus, PWI Kaltara memang tidak terganggu seperti halnya PWI di provinsi lain yang ketuanya ada yang berstatus pelaksana tugas harian (Plh). Mereka menjadi korban pertikaian dua pimpinan yang berseberangan.
Perpecahan tersebut juga telah mereduksi semangat para pengurus PWI Kaltara disebabkan sikap ketuanya yang dianggap melampaui batas kewenangan.Pergantian ketua bidang organisasi PWI Kaltara beberapa waktu lalu lewat hak prerogatif sang ketua tanpa rapat pleno. Tindakan tersebut dianggap oleh para pengurus menafikan suara kolektif kolegial yang harus dihormati.
Kendati begitu, pengurus tidak mau pusing. Mereka masih menganggap putusan sang ketua sebagai langkah darurat untuk segera mengisi kevakuman ketua bidang yang strategis itu, walaupun langkah itu tetap saja menjadi catatan sejarah kelam pagi PWI Kaltara dalam konteks ketaatan terhadap norma PD-PRT.
Puncak kekecewaan pengurus terjadi Sabtu 21 Agustus 2025 di rapat pleno yang dihadiri, ketua, sekretaris, serta ketua-ketua PWI kabupaten dan kota (mewakili seluruh anggota) dan pengurus harian PWI Kaltara secara hybrid.
Pleno tersebut dimaksudkan untuk menentukan arah politik PWI Kaltara menjelang kongres di Cikarang, Jawa Barat, 29-30 Agustus 2025. Selaku ketua DK PWI Kaltara, saya hadir sekadar memberi wejangan agar pleno berlangsung dalam spirit kebersamaan.
Secara pribadi, saya juga sudah lebih dari 3 bulan tidak memantau perkembangan yang terjadi di PWI Pusat. Namun, menurut informasi peserta pleno, ada dua nama yang menguat dalam bursa pencalonan ketum PWI Pusat pada kongres mendatang. Yakni, Hendry Chairudin Bangun dan Akhmad Munir yang saat ini masih aktif sebagai wartawan Kantor Berita Antara.
Sebelumnya, ada nama Atal Sembiring Depari, ketum PWI Pusat periode 2018-2023 dan Zulmansyah Sekedang. Belakangan, Atal dan Zulmansyah memilih berkoalisi dan mendukung Akhmad Munir. Pleno PWI Kaltara yang berlangsung secara tatap muka dan daring itu ternyata mayoritas peserta memilih Akhmad Munir. Nicky Saputra Novianto, Ketua PWI Kaltara rupanya kurang berkenaan dengan pilihan itu.
“Maaf, saya tetap memilih Pak Hendry,” kata Nicky, call sign Nicky Saputra.
Mendengar pernyataan sang ketua, Sekretaris PWI Kaltara, Aswar langsung walk out disusul ketua PWI Tarakan, ketua PWI Nunukan dan ketua PWI Bulungan. Dari sinilah bibit mosi tidak percaya itu tersemai. Bahkan beberapa pengurus kabupaten dan kota dalam suratnya terkait alasan mosi tersebut mengungkapkan, ada banyak tugas dan kewajiban sang ketua yang belum tertunaikan hingga menjelang akhir jabatannya.
Di antaranya, tidak pernah menggelar rapat, baik rapat harian maupun rapat-rapat berkala. Bahkan konferensi kerja provinsi yang diamanatkan oleh kongres pun, belum dilakukan.
Kekecewaan terhadap kinerja ketua itulah yang jadi pemantik wacana “pemakzulan” yang kini tengah diolah oleh sejumlah elemen pengurus yang selanjutnya akan disampaikan ke PWI Pusat untuk diputuskan. (***)