NUNUKAN – Sebanyak 70 persen tindak kekerasan seksual yang dialami perempuan di Indonesia ternyata terjadi di lingkungan kampus. Begitu pernyataan Direktur Politeknik Negeri Nunukan (PNN), Arkas Viddy, Selasa (7/2/2023) lalu.
Bagaimana kasus tersebut bisa terjadi justru di lingkungan para intelektual? antara lain penyebabnya, seperti yang dikatakan Arkas, perempuan yang menjadi korban adalah usia remaja menuju dewasa, merupakan kalangan yang cukup rentan mengalami tindak perbuatan tersebut.
“Penyebab lainnya, pelaku yang umumnya dosen pengajar, pada saat-saat tertentu, memiliki semacam ‘power’ yang menjadi keleluasaan untuk dimanfaatkan melakukan perbuatannya,” kata Arkas Viddy.
Mengutip informasi yang banyak diperoleh, masih seperti dikatakan oleh Direktur PNN ini, umumnya kasus terjadi pada saat bimbingan tugas akhir. Mahasiswi yang datang sendiri menemui dosen pembimbing menjadi situasi yang membuka peluang terjadinya tindak kejahatan seksual dimaksud.
“Banyak contoh kasus yang terjadi dari situasi dan kondisi seperti itu. Mulai dari tindak kejahatan seksual pada tingkat ringan, tingkat sedang dan berat. Bahkan berujung pada kehamilan,” kata Arkas Viddy.
Pernyataannya tersebut disampaikan Arkas Viddy dalam kegiatan Pembentukan dan Pelantikan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasa Seksual (Satgas PPKS) di lingkungan Kampus PNN, Selasa (7/2/2023) lalu. Bersamaan dengan kegiatan pelantikan dan ikrar sumpah jabatan beberapa pejabat struktural mereka.
Fakta seperti yang disebutkannya tadi, membuat pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan Perguruan Tinggi.
“Tidak terkecuali PNN yang menindaklanjuti Permendikbud tersebut agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan sebagai komitmen PNN menjadikan Kampus Merdeka dari kekerasan seksual,” tegas Arkas.
Berdasar Pemendikbud tadi, sebanyak 7 orang komposisi Satgas PPKS yang dibentuk di PNN merupakan kolaborasi dari unsur laki-laki, perempuan, dosen, tenaga pendidik dan mahasiswa sesuai ketentuan prosentasenya masing-masing, melibatkan Basran, S.Pi., M.Si sebagai Ketua (Dosen), Tri Haryo Nugraha S.Pd., M.Pd sebagai Sekretaris (Tenaga Pendidik) serta lima orang anggota, masing-masing Siti Hajar, S.Si., M.Pd, (Dosen), Herlina, S.Pd., M.Pd, (Dosen), Maria Antonius (Mahasiswa), Nuraini (Mahasiswa) dan Sabrina (Mahasiswa).
Dilibatkannya berbagai unsur tersebut, menurut Arkas Viddy karena tidak sedikit dari kasus-kasus serupa di lingkungan Perguruan Tinggi di Indonesia yang ternyata justru ditutup-tutupi.
“Jika ada mahasiswi sebagai korban yang melaporkan kasusnya, justru kembali mendapat intimidasi dari pihak kampus dengan dalih untuk menjaga nama baik Perguruan Tinggi,” kata Arkas.
Itu sebebnya, pada kelembagaan Satgas PPKS di kampus melibatkan unsur mahasiswa yang diharapkan menjadi perwakilan untuk menyuarakan jika terjadi kasus-kasus yang tidak diinginkan itu terhadap mereka terkait tindak kejahatan seksual.
Selain konsistensi pada integritasnya dalam melaksanakan tugas, Satgas PPKS di PNN juga dituntut mampu mejaga kerahasiaan hal-hal yang memang tidak boleh dipublis kepada umum. Terutama identitas korban guna menyelamatkan korban dari mengalami trauma. Kecuali kepada pihak-pihak tetentu yang memperbolehkan kasus terjadi boleh diungkap.
“Bahkan, Satgas PPKS yang berstatus suami tidak perlu menyampaikan kasus yang terjadi kepada istrinya di rumah. Demikian juga sebaliknya, Satgas yang perempuan tidak perlu menceritakan kepada suaminya,” kata Arkas Viddy lagi. (ADHE/DIKSIPRO)