Di ujung utara Borneo, di Kabupaten Nunukan yang strategis, terukir kisah inspiratif seorang peternak yang berhasil menapaki puncak kemandirian dalam bisnis ayam. Dia adalah Riswandi, lebih akrab disapa Bang Cega.
Perjalanan panjangnya, dari sekadar mitra hingga kini menjadi pengendali sebagian besar pasokan ayam potong di Nunukan, tak hanya tentang angka, melainkan juga tentang kegigihan, adaptasi, dan visi bisnis yang tajam.
Kini, dengan mata yang awas melihat peluang, ia mulai memalingkan pandangannya ke sektor ayam petelur, sebuah langkah strategis yang menjanjikan stabilitas di tengah fluktuasi pasar.
Awal mula petualangan Bang Cega di dunia peternakan bermula pada tahun 2018. Dengan semangat membara, ia bergabung dengan sebuah kemitraan ayam broiler bernama Tunon Taka Mandiri Sejahtera (TMS).
Saat itu, model kemitraan memang menjadi pintu masuk umum bagi banyak peternak pemula, menjanjikan bimbingan dan pasokan. Namun, realitas di lapangan tidak selalu seindah teori.
Bang Cega merasakan betul pasang surut yang kerap kali di luar kendalinya. Aturan kemitraan yang sering berubah menjadi ganjalan utama.
“Dulu itu, aturannya berubah-ubah terus, bikin pusing,” kenang Riswandi, menggarisbawahi ketidakpastian yang akhirnya memicu gejolak dalam dirinya.
Ketergantungan pada pihak lain terasa membelenggu, dan keinginan untuk mengatur nasib sendiri mulai bersemi dalam benaknya.
Ketidaknyamanan ini, alih-alih membuatnya patah semangat, justru menjadi pemicu utama. Tekadnya bulat: ia harus mandiri. Sebuah keputusan yang berani, mengingat minimnya pengalaman dan besarnya risiko di sektor peternakan yang penuh tantangan. Namun, Bang Cega percaya pada nalurinya dan kekuatan pantang menyerah.
Dengan modal nekat dan semangat, Bang Cega memulai babak baru. Hanya berbekal 200 sak pakan ayam sebagai modal awal, serta dukungan tak ternilai dari keluarga yang memang memiliki lapak-lapak ayam, ia mulai menyewa kandang-kandang yang juga milik kerabat.
Ini adalah langkah pertama menuju kemandirian total, sebuah investasi bukan hanya finansial, tetapi juga mental.
Tantangan utama saat itu adalah membangun jaringan pasar. Ayam harus terjual, dan itu berarti mencari pembeli di tengah persaingan.
“Kadang laku banyak, kadang sepi banget. Tapi justru itu yang bikin saya terus termotivasi, harus bisa,” ujarnya dengan sorot mata penuh semangat, mengingat fase-fase awal yang penuh perjuangan namun membentuk karakternya.
Perlahan tapi pasti, kegigihan Bang Cega berbuah manis. Dari hanya mengelola 1-2 kandang di awal, kini ia menjadi pusat dari sekitar 60 kandang mitra mandiri yang tersebar di seluruh Nunukan. Ini bukan hanya tentang jumlah kandang yang ia miliki atau kelola, melainkan tentang ekosistem bisnis yang ia ciptakan, sebuah jaringan yang saling mendukung di bawah kepemimpinannya.
Total populasi ayam broiler yang berada di bawah manajemennya, baik milik sendiri maupun mitranya, mencapai 100.000 ekor. Angka ini sungguh fantastis untuk ukuran peternak lokal. Dengan rata-rata panen 1.000 hingga 1.300 ekor per hari, Bang Cega kini menguasai sekitar 45-50% pasokan ayam potong di Kabupaten Nunukan.
Dominasi pasar ini adalah cerminan dari kerja keras, manajemen yang efektif, dan kemampuan melihat peluang.
Namun, laju kesuksesan ini tidaklah tanpa badai. Pandemi COVID-19 yang melanda dunia menjadi ujian terberat bagi banyak sektor, termasuk peternakan.
“Waktu COVID itu puncak pukulan yang bikin sengsara lagi,” kenang Riswandi.
Ekonomi yang melambat drastis membuat penjualan tersendat dan pasar terpuruk, memaksa banyak bisnis tiarap.
Di titik terendah itulah Bang Cega menunjukkan kapasitasnya sebagai wirausahawan sejati. Kondisi sulit tersebut justru memicu adaptasi, inovasi, dan pencarian celah bisnis baru. Ia belajar bagaimana mengelola stok, mencari jalur distribusi alternatif, dan menjaga keberlangsungan usaha di tengah kondisi yang tak menentu. Krisis, baginya, adalah guru terbaik.
Dari profit yang berhasil ia kumpulkan dari bisnis ayam potongnya, Bang Cega mulai melirik sektor yang lebih stabil dan menjanjikan: ayam petelur.
“Belajar dari nol lagi,” katanya, menunjukkan kerendahan hati seorang pembelajar sejati, tidak pernah merasa puas dengan pencapaian yang ada.
Keputusan ini lahir dari pengamatan cermat terhadap dinamika pasar. Dimulai dengan satu kandang petelur, hasil yang konsisten dan positif mendorongnya untuk terus menambah, hingga kini memiliki lima kandang petelur secara bertahap. Ini adalah diversifikasi yang cerdas.
Usaha ayam broiler tetap berjalan kencang, memberikan pendapatan rutin, namun kini ayam petelur menjadi penopang stabilitas dan bantalan yang vital dari fluktuasi harga.
Bang Cega menjelaskan perbedaan fundamental antara kedua sektor ini.
“Kalau ayam potong itu kadang datang ‘banjir ayam’, pasar serapan berkurang, kita jual murah,” ujarnya, menyoroti tantangan klasik fluktuasi harga yang melekat pada bisnis broiler, di mana pasokan berlebih bisa langsung menekan harga jual. Namun, ketika bicara telur, nadanya berubah yakin, memancarkan optimisme.
“Telur tidak pernah harga di bawah Rp2.000 (per butir),” tegasnya. Stabilitas harga telur ini menjadikannya investasi yang jauh lebih menjanjikan dan aman dari gejolak harga yang kerap menghantam ayam broiler.
Telur adalah komoditas kebutuhan pokok yang permintaannya relatif stabil. Tidak berhenti pada pengembangan usaha mandiri, Bang Cega juga menjalin kemitraan unik yang saling menguntungkan. Ia berkolaborasi dengan seorang warga Mamolo, Jusman.
Dalam skema ini, Jusman menyediakan ayam, sementara Bang Cega membantu dalam pasokan pakan serta pemasaran telurnya. Sistem simbiosis mutualisme ini tidak hanya menguntungkan kedua belah pihak, tetapi juga memperkuat ekosistem peternak telur di bawah payung Bang Cega, menciptakan jejaring yang lebih kuat dan terintegrasi.
Kisah Bang Cega adalah cerminan dari semangat kewirausahaan yang membara di Nunukan. Ia telah membuktikan bahwa dengan keberanian mengambil risiko, adaptasi yang cepat terhadap perubahan, dan diversifikasi usaha ke sektor yang lebih stabil seperti ayam petelur, potensi ekonomi lokal dapat terus digali dan dimanfaatkan secara maksimal. Peternakan, yang seringkali dipandang sebelah mata, di tangan Bang Cega menjelma menjadi kekuatan ekonomi yang signifikan.
Ia tak hanya membangun bisnis, tetapi juga membuka peluang bagi banyak pihak, menunjukkan bahwa kemandirian bisa menjadi pemicu kemajuan bersama, menciptakan ekosistem bisnis yang lebih tangguh dan berkelanjutan bagi Nunukan. (WIRA/DPro)