Pendahuluan
Pandemi Covid-19 berlangsung lebih kurang dua tahun dan hingga kini belum diketahui sampai kapan akan berakhir. Kondisi ini tentu saja menyebabkan terjadinya perubahan besar-besaran dalam tata kehidupan sosial kita. Bukan saja dalam interaksi yang kini menjadi begitu berbatas, berimplikasi juga pada berbagai aspek lainnya. Termasuk aspek pendidikan.
Sejak diumumkan bahwa virus corona covid-19 ini masuk ke Indonesia pada Februari 2020 silam, pemerintah kemudian mengambil kebijakan terkait dengan pembatasan mobilitas sosial sebagai antisipasi untuk menahan laju persebaran virus tersebut. Mulai dari Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB hingga Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Salah satu poin kebijakan pembatasan itu juga terkait dengan persoalan di lingkup pendidikan. Antara lain diatur lebih spesifik dalam Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 3 Tahun 2020 tentang Pencegahan Corona Virus Disease (Covid-19) Pada Satuan Pendidikan, termasuk Surat Kepala LLDIKTI Wilayah IV Nomor: 1685/LL4/TU/2020 tentang Himbauan Antisipasi Penyebaran Virus Corona (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, 2020; LLDIKTI, 2020).
Mengacu kebijakan tersebut, SMA Negeri 2 Nunukan Selatan, terhitung sejak awal Juli 2020 hingga Juli 2022 telah merubah pola pembelajaran. Jika sebelumnya bersifat tatap muka atau luar jaringan (luring) menjadi dalam jaringan (daring). Jika ada tatap muka, itu dilakukan secara terbatas. Misalnya, pada pembelajaran praktikum dengan jumah peserta dan waktu pertemuan terbatas serta harus mematuhi ketentuan Protokol Kesehatan secara ketat. Dalam pelaksanaanya, pembelajaran daring ini dilakukan dengan memanfaatkan Learning Manajemen System (LMS).
Melalui LMS tersebut guru pengampu mata pelajaran mengunggah materi pembelajaran, baik bersifat teks maupun bersifat audio visual untuk kemudian diunduh dan dipelajari oleh siswa. Melalui LMS itu pula siswa mengisi absensi. Agar perkuliahan berlangsung interaktif, guru biasanya memanfaatkan aplikasi lain untuk mendukung LMS tersebut, antara lain aplikasi Zoom dan Google Meet karena bersifat interactivity.
Graham (dalam Nasrullah, 2013) menyebut bahwa karakteristik interactivity merupakan salah satu cara yang berjalan di antara pengguna dan mesin (teknologi) dengan memungkinkan para pengguna maupun perangkat yang saling terhubung secara interaktif. Namun demikian, tetap saja dalam praktiknya pembelajaran yang berlangsung secara daring kerap dihadapkan oleh berbagai kendala.
Selain kendala-kendala sebagaimana di atas, sejatinya terdapat kendala lain yang menjadi faktor penghambat kelancaran pembelajaran daring, yakni kendala atau hambatan komunikasi, baik komunikasi antara guru dengan siswa, maupun siswa dengan mahasiswa. Noise, atau hambatan komunikasi dapat berupa gangguan seperti suara, persepsi yang tidak sama, atau misinterpretasi yang dapat mengubah arti dari pesan yang disampaikan.
Hambatan komunikasi ini tentu saja menjadi persoalan krusial dalam pembelajaran. Sebab, pembelajaran yang baik sehingga diperoleh hasil sebagaimana diharapkan terletak pada proses dan praktik komunikasi yang terjalin selama pembelajaran berlangsung. Hambatan komunikasi juga dapat memengaruhi kondusivitas pembelajaran yang berimplikasi pada semangat tidaknya baik dosen ataupun mahasiswa dalam melaksanakan dan mengikuti pembelajaran. Dalam hal ini Devito (2011) mendefinisikan hambatan komunikasi sebagai segala sesuatu yang dapat mendistorsi pesan, hal apapun yang menghalangi penerima menerima pesan.
Hambatan-hambatan tersebut dapat berlangsung dalam semua konteks atau situasi komunikasi. DeVito juga membagi hambatan komunikasi pada tiga hal, yakni hambatan secara fisik, hambatan secara psikologis, dan hambatan secara semantik. Sementara Effendy (2017) menyebut empat faktor penghambat dalam komunikasi. Pertama, hambatan sosiologis, antropologis, dan psikologis. Hambatan sosiologis ini berkaitan erat dengan persoalan hubungan sosial seperti status sosial, tingkat pendidikan, dan sebagainya yang dapat menjadi hambatan dalam berkomunikasi. Hambatan antropologis berkaitan erat dengan persoalan antropolgis seperti ras, agama, kebiasaan, norma, dan sebagainya yang memengaruhi proses komunikasi. Hambatan psikologi berkaitan dengan persoalan psikologi seperti perasaan sedih, prasangka, shock culture, dan sebagainya yang bisa menimbulkan hambatan berkomunikasi.
Kedua, hambatan semantik atau bahasa. Hambatan bahasa ini umumnya terjadi ketika apa yang disampaikan oleh komunikator dipahami berbeda oleh komunikan akibat bahasa yang tidak dimengerti atau komunikator salah ucap, dan hal-hal yang berkaitan dengan kebahasaan lainnya. Ketiga, hambatan mekanis. Hambatan ini muncul akibat penggunaan media dalam berkomunikasi yang menimbulkan berbagai kendala teknis sehingga berimplikasi pada terganggunya proses komunikasi.
Keempat, hambatan ekologis. Disebut juga hambatan lingkungan oleh sebab gangguan komunikasi itu muncul dari lingkungan di mana komunikasi itu berlangsung. Selanjutnya, untuk mengetahui bagaimana hambatan komunikasi itu berlangsung dalam perkuliahan daring pada masa Pandemi Covid-19 dan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya hambatan komunikasi tersebut, maka penulis berinisiatif melakukan kajian lebih lanjut.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Creswell (2013) menyebut pendekatan kualitatif sebagai upaya untuk melakukan eksplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau sekelompok sosial dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan.
Sedangkan Stake (dalam Creswell, 2013), mengatakan bahwa metode studi kasus merupakan strategi penelitian di mana di dalamnya peneliti menyelidiki secara cermat suatu program, peristiwa, aktivitas, proses, atau sekelompok individu.
Kasus-kasus dibatasi oleh waktu dan aktivitas, dan peneliti mengumpulkan informasi secara lengkap dengan menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data berdasarkan waktu yang telah ditentukan. Penelitian tentang Hambatan Komunikasi dalam Perkuliahan Daring pada Masa Pandemi Covid-19 ini sesuai dengan karakteristik kajian studi kasus karena secara metodologi memenuhi unsur sebagaimana dikemukakan oleh Yin (2019), yaitu; (1) Peneliti memiliki informasi yang sedikit tentang hal yang diteliti; (2) Fokus penelitian adalah sebuah fenomena yang telah berlangsung, serta: (3) ada banyak sumber data.
Adapun yang menjadi subjek penelitian adalah siswa yang mengikuti pembelajaran daring Tahun Akademik 2021/2022 Ganjil SMAN 2 Nnukan Selatan. Selain itu, penelitian ini menggunakan dua data penelitian, yaitu data yang bersifat primer dan data yang bersifat sekunder.
Data yang bersifat primer didapat berdasarkan observasi partisipan selama perkuliahan serta hasil diskusi dan tanya jawab yang dilakukan melalui WhatsApp Group (WAG) masing-masing kelas. Sementara data yang bersifat sekunder diperoleh dari kajian pustaka dan berbagai literatur yang mendukung penelitian ini.
Pembahasan
Pembelajaran yang berlangsung secara daring tentu saja sangat berbeda situasinya jika dibandingkan dengan perkuliahan secara luring. Dari hasil observasi dan diskusi dengan siswa peserta pembelajaran daring, mereka umumnya merasakan bahwa pembelajaran secara luring jauh lebih efektif dibanding dengan pembelajaran daring.
Selain itu, pembelajaran luring juga memungkinkan terjalinnya interaksi yang baik, baik siswa dengan siswa maupun mahasiswa dengan dosen. Demikian pula sifat komunikasinya, dapat berlangsung dua arah sehingga dapat memudahkan mahasiswa untuk lebih memahami materi kuliah yang disampaikan dosen. Jika pun ada yang tidak atau belum dipahami, mahasiswa dapat bertanya langsung atau meminta penjelasan lebih lanjut.
Dengan kata lain, interaksi dan komunikasi dalam perkuliahan bersifat luring dianggap oleh mahasiswa lebih efektif, dan efektivitas komunikasi ini merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan perkuliahan itu sendiri. Maka, semakin efektif komunikasi yang terjalin antara dosen dengan mahasiswa maupun mahasiaswa dengan mahasiswa, maka perkuliahan pun akan berjalan dengan baik.
Masih menurut Tubss dan Moss (dalam Rakhmat, 2019), komunikasi yang efektif paling tidak akan menimbulkan lima hal, yakni, pengertian, kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan yang kian baik, serta tindakan. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa hambatan komunikasi yang terjadi dalam perkuliahan daring ini terpetakan pada faktor-faktor berikut ini.
1) Hambatan/Faktor teknologi.
Faktor teknologi atau disebut juga hambatan teknis dianggap sebagai hambatan paling utama dalam perkuliahan secara daring. Selain merasa belum terbiasa menggunakan teknologi komunikasi untuk kuliah, mahasiswa juga merasa mengalami apa yang disebut gagap teknologi.
Sehingga, di awal-awal perkuliahan berlangsung mereka merasa kebingungan tentang bagaimana cara menggunakan teknologi komunikasi tersebut, mulai bagaimana menginstal aplikasi Zoom atau Google Meet di ponsel maupun di komputer, bagaimana cara mengoperasikannya, hingga hal-hal bersifat teknis lainnya.
Faktor ketidakkebiasaan dan kegagapan ini pada akhirnya berpengaruh terhadap interaksi dan komunikasi yang berlangsung selama pembelajaran. Pada masa-masa awal pembelajaran, mahasiswa kesulitan untuk menyimak materi yang disampaikan guru karena tidak atau belum tahu bahkan lupa mengaktifkan volume suara. Termasuk pada saat saling sapa antara guru dan siswa. Sapaan, bahkan penjelasan dosen tentang materi kuliah kerap tidak terdengar oleh karena persoalan baik ketidakstabilan jaringan ataupun keterbatasan kuota internet.
Situasi seperti itu bahkan bisa berlangsung hingga pembelajaran berakhir. Alhasil, jangankan memahami penjelasan guru tentang materi pembelajaran yang disampaikan, mendengarkan pun tidak. Situasi yang tidak jauh berbeda juga terjadi manakala mahasiswa hendak memberikan feedback. Sejumlah mahasiswa mengakui bahwa mereka ingin bertanya kepada guru tetapi Zoom atau Google Meet yang mereka gunakan dalam posisi unmute dan tidak tahu bagaimana mengubahnya menjadi mute. Problem lain adalah pada suara guru yang tidak stabil atau berdengung akibat gangguan sinyal dan gangguan teknis lainnya, termasuk juga kebocoran suara.
Sejumlah siswa mengaku kerap mengalami situasi gangguan di mana saat asyik menyimak penjelasan guru, tibatiba sinyal terputus entah karena kuota internet yang telah habis atau persoalan lain, sehingga butuh waktu yang tidak sebentar untuk kembali tersambung. Karenanya, alih alih memberikan feedback berupa pertanyaan kepada guru, untuk bisa menyimak secara jelas materi yang disampaikan pun dihadapkan berbagai kendala.
Kondisi yang tentu saja membuat situasi perkuliahan tidak berlangsung kondusif yang mengakibatkan mahasiswa tidak atau kurang memahami materi yang disampaikan.
2) Faktor/Hambatan Psikologi Faktor psikologi ikut memengaruhi komunikasi yang terjalin selama pembelajaran daring berlangsung.
Mahasiswa umumnya mengalami situasi yang aneh, terutama pada masa-masa awal perkuliahan. Melalui penggunaan aplikasi Zoom ataupun Google Meet, mereka merasakan situasi bersama dan menyatu dengan rekan satu kelas, tetapi karena termediasi oleh media teknologi, rasa kebersamaan dan kemenyatuan itu serasa hambar karena tidak menemukan situasi yang intim sebagaimana situasi luring atau tatap muka.
Terhadap situasi demikian ini siswa menyebutnya sebagai pertemuan dan kebersaamaan yang tanpa ikatan emosional sehingga terasa kering dan hambar. Kenyataan tersebut secara psikologis menganggu interaksi dan komunikasi yang berlangsung. Interaksi selama pembelajaran berlangsung agak canggung, lebih bersifat mekanis, monoton, dan formal.
Akibatnya, komunikasi yang terjalin lebih bersifat satu arah di mana dosen lebih dominan berkomunikasi, bahkan hingga perkuliahan usai. Jika pun terjadi dialog, waktunya tidak lama dan lebih bersifat formalitas. Kondisi komunikasi yang apatis akibat kendala psikologis ini semakin terasa oleh siswa yang biasa pasif dalam setiap perkuliahan. Baik karena tidak terbiasa maupun faktor-faktor yang lain seperti malu dan tidak percaya diri.
Akibatnya, pemanfaatan aplikasi Zoom ataupun Google Meet untuk terjalinnya interaksi dan komunikasi di dalam kelas pun tidak berlangsung secara optimal dan maksimal oleh sebab kendala psikologis tersebut. Pada sisi yang lain, siswa juga merasa tidak fokus mengikuti pembelajaran yang menyebabkan mereka memilih pasif atau tidak responsif. Ketidakfokusan itu antara lain disebabkan oleh rasa jenuh karena berlama-lama duduk dan menghadap komputer, situasi lingkungan yang tidak kondusif, rasa malas, merasa aneh karena bicara bukan dengan orang lain melainkan dengan komputer, dan faktor-faktor psikologis lainnya.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan sebagaimana di atas, pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa hambatan komunikasi yang terjadi dalam pembelajaran pada masa Pandemi Covid-19 menjadi salah satu faktor utama tidak berlangsungnya pembelajaran secara optimal. Hambatan komunikasi itu disebabkan oleh tiga faktor utama, yaitu faktor teknologi, faktor psikologi, dan faktor lingkungan.
Oleh karena itu, sebagai langkah perbaikan dan demi terselenggaranya pembelajaran daring yang lebih baik dan sesuai dengan tujuan pembelajaran, faktor-faktor yang menjadi hambatan komunikasi ini perlu menjadi perhatian serius, antara lain penting dibuat metode khusus bagaimana dosen, khususnya, mampu menjalin interaksi dan komunikasi yang baik selama pembelajaran sehingga mahasiswa mampu bersikap proaktif dan responsif. Hal lain adalah faktor teknologi.
Karena bersifat teknis namun cukup mengganggu proses komunikasi, maka perlu segera diatasi. sekolah antara lain perlu meningkatkan kapasitas jaringan internet dan infrastruktur pendukung lainnya sehingga dapat mengakomodir kepentingan perkulihan secara daring.
Sedangkan bagi mahasiswa, perlu meningkatkan kesadaran tentang situasi perkuliahan daring yang mungkin akan berlangsung lama, sehingga dengan sendirinya kendala-kendala bersifat teknis tersebut dapat diprediksi dan diatasi.
Mardaniah
Kepala SMA Negeri 2 Nunukan Selatan