Puluhan atau bahkan ratusan populasi buaya di Nunukan, kini seakan menjadi ancaman tersendiri bagi warga di sepanjang pesisir habitat predator pemangsa itu. Sepanjang 2016 – 2021 ini saja, setidaknya sudah ada puluhan korban yang menjadi keganasan buaya jenis air tawar tersebut.
Pertanyaan yang kemudian muncul? Apakah benar fenomena ini lantaran sejumlah habitat buaya sudah terganggu atau mungkin ketersediaan makanan para buaya ini sudah menipis?
Berikut ulasan yang berhasil dihimpun diksipro.com dari berbagai sumber.
DIANSYAH/diksipro.com
KASUS tewasnya salah seorang warga di Kelurahan Mansapa, Kecamatan Nunukan Selatan, Muhammad Ilham (8) harus meregang nyawa setelah ditarik ke dasar sungai akibat terkaman buaya berukuran 3 – 4 meter itu menyisakan sedikit tanda tanya.
Fenomena kasus buaya menyerang manusia ini sejatinya bukan kali pertama terjadi di Nunukan. Jika kita merunut kembali pada tahun 2016, ada kejadian dimana rentetan demi rentetan serangan buaya itu terjadi di Kecamatan Sebuku.
Pewarta mencatat ada tiga kasus setidaknya pernah terjadi, dimana sebagian besar korbannya meninggal dunia dan ditemukan dalam kondisi mengenaskan.
Berpindah pada tahun selanjutnya atau lebih tepatnya di 2017, warga Nunukan dihebohkan dimana seorang warga Sebuku harus kehilangan tangan kirinya setelah diterkam dan bertarung melawan buaya berukuran sekitar 7 meter.
Korban Tahir (40) saat itu dapat selamat setelah melukai mata dari buaya ganas tersebut, meski tangan kirinya tak dapat tertolong. Pasca diselamatkan ia pun kemudian dilarikan ke RSUD Malinau untuk mendapatkan penanganan intensif.
Beralih ke tahun 2018, setidaknya ada dua kasus yang sempat menghebohkan warga Nunukan Selatan. Pada Juni 2018, seorang petani rumput laut, Tunding (35) harus bertarung melawan buaya berukuran sekitar 3 meter saat akan membersihkan geladak rumput laut miliknya. Meski nyawanya tertolong, luka sobekan akibat gigi buaya harus ia terima di tangan bagian kanan dan areal wajah.
Selanjutnya di bulan Desember tahun yang sama, Heri (20) warga Desa Pembeliangan, Kecamatan Sebuku ditemukan tewas usai diseret buaya berukuran 7 meter. Korban saat itu sempat berontak dan melawan. Namun usahanya itu tak membuahkan hasil akibat buaya menerkam tepat dibagian perut korban.
Asdar saksi mata yang juga tak lain saudara korban, menyaksikan kakaknya sempat tiga kali muncul ke permukaan sebelum akhirnya hilang dan ditemukan berapa hari kemudian dalam keadaan meninggal dunia.
Loncat ke tahun 2020, pada awal tahun atau tepatnya 01 Januari 2020, warga kembali dikagetkan atas hilangnya seorang warga Desa Tepian, Kec Sembakung atas nama Mansyah (47).
Korban diterkam saat memasang pukat udang disekitar sungai tepian. Nahas menimpa korban hingga kini tak kunjung ditemukan. Bahkan di tahun yang sama warga Nunukan sempat dihebohkan penampakan buaya berukuran raksasa sekitar 15 meter dan terdeteksi di google maps kala itu.
Menilik rentetan demi rentetan atas kejadian itu. Membuat media ini pun bertanya-tanya, apa sebenarnya menjadi penyebab fenomena keluarnya para buaya ini dari habitatnya?
Pewarta pun mencoba mendatangi salah seorang penggiat lingkungan dari World Wide Fund for Nature (WWF) Suparjono. Menurutnya, WWF sejauh ini bukanlah lembaga yang paham dan mengerti terkait apa yang sebenarnya menjadi fenomena keganasan tersebut.
“Jujur, kami sebenarnya kurang mengikuti apa yang menjadi penyebab keganasan buaya itu. Ada lembaga yang sebenarnya paling bertanggungjawab dan mengerti persoalan itu,” ujar Suparjono kala dikonfirmasi media ini.
Namun, secara sekilas apa yang terjadi saat ini, diduga kuat lantaran habitat pemangsa daging ini sudah terancam. Kendati begitu, untuk lebih jelasnya ia meminta pewarta untuk menghubungi Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kaltim.
Pewarta pun akhirnya menghubungi salah seorang pejabat di BKSDA Kaltim, Dheny Mardiono. Dari penjelasan Kepala Seksi Konservasi Wilayah I Berau, BKSDA Kaltim ini mengatakan pihaknya telah melihat dan mengikuti kasus tewasnya Muhammad Ilham di wilayah Mansapa. Dirinya pun mengucapkan berbela sungkawa atas meninggalnya korban tersebut.
Dheny, sapaan akrabnya melihat jika lokasi kemunculan buaya yang kerap dipanggil sumbing itu memang begitu dekat dengan pemukiman dan lokasi aktivitas manusia.
Menurut Dheny, satwa liar seperti buaya tentu tidak akan pernah kehilangan sifat atau naluri liarnya. Sekalipun buaya tersebut kerap diberikan makan atau dianggap jinak oleh manusia. Namun hal itu tak bisa menjamin sifat liar dari predator tersebut sirna.
“Kita contohkan seperti ada orang yang memelihara beruang, saat kecil memang lucu. Tapi kalau sudah besar pasti menakutkan juga. Beberapa orang di Kaltara juga ada yang menyerahkan (Beruang) ke kita (BKSDA) karena memang yang namanya satwa liar, akan tetap memiliki naluri liarnya,” ujar Dheny.
Dijelaskan lebih jauh terkait fenomena apakah habitat asli para buaya ini terganggu atau meningkatnya jumlah populasi satwa tersebut, diakui Dheny, BKSDA tentu tidak dapat disimpulkan secara detail tanpa adanya penelitian langsung.
Karena menurut Dheny, kasus bergesernya buaya dari lokasi yang seharusnya aman bagi satwa ini, ke lokasi sekitar pemukiman warga, tentu bertolak belakang dengan kebiasaan sang predator tersebut.
“Logikanya buaya–buaya ini kalau memang terganggu atau tadinya tidak ada aktivitas manusia, dia akan mencari lokasi baru yang lebih aman. Namun kalau sebaliknya, maka ini yang perlu kita teliti. Ada fenomena apa sebenarnya?” jelas Dheny.
Terkait apakah kemungkinan ketersediaan makanan bagi si buaya menipis atau lain sebagainya, Dheny juga tak dapat menjawab secara pasti, lantaran belum adanya penelitian ke arah tersebut. Namun menurut dugaanya, jika melihat dari siklus makanan predator dimaksud, buaya berada pada siklus puncak.
Artinya, saat ini tidak ada predator lainnya yang dapat memangsa buaya tersebut. Tentu ini kuat dugaan adanya peningkatan populasi buaya itu sendiri.
Karena saat ini, menurunnya populasi buaya hanya dapat terjadi, jika buaya tersebut menjadi incaran pemburu satwa liar untuk diambil kulit atau organ lainnya.
Hanya saja, ini tidak lagi terjadi karena permintaan kulit buaya di dunia sudah tidak sepesat dulu, atau bahkan cenderung tidak ada permintaan.
Kedua, faktor lainnya yakni menuanya umur buaya atau sakit lalu kemudian mati. Yang ketiga, adalah ancaman kanibal sesama predator tersebut. Hanya saja kata Dheny, hal itu sangat minim kasus.
“Seharusnya untuk satwa puncak seperti buaya ini memang dikontrol. Contoh disepanjang sungai A dengan jarak 20 kilometer ada 100 buaya, tentu ini yang kita kontrol, apakah kemudian ternyata muncul 200 tentu harus ada antisipasi tambahan juga dari instansi terkait,” ujarnya.
Saat ditanya, apakah akan ada penelitian, mengingat seringnya kasus gesekan antara buaya dan manusia di Nunukan? Dheny mengungkapkan hal itu tentu akan ia usulkan, namun kembali melihat postur anggaran nantinya. Sebab, sejauh ini pihaknya mengamini jika belum adanya penilitian soal keberadaan dan jumlah populasi satwa liar di Kalimantan Utara.
Sementara itu, pemerhati lingkungan dan satwa liar ikut mengomentari terkait fenomena tersebut. Saat ditanya terkait apakah ada kemungkinan terganggunya habitat buaya akibat aktivitas pembukaan lahan maupun kegiatan perusahaan, baik perkebunan atau pertambangan?
Aktivis di Suara Pulau Irvan Van Gobel mengatakan, jika kegiatan itu benar terjadi, maka tidak menutup kemungkinan inilah yang patut diduga menjadi penyebab utama, mengapa kawanan buaya itu mulai memasuki kawasan pemukiman warga.
“Kasus ini bisa dikatakan, bukan baru kali ini terjadi. Sejumlah kasus di Kalimantan atau di daerah lain Indonesia yang kami pelajari hampir sebagian besar habitat buaya ini terganggu terhadap aktivitas pembukaan lahan perusahaan dan sebagainya,” ujar Irvan.
Dilanjutkan Irvan, penyebab lainnya yang kerap menjadi alasan mengapa kawanan buaya ini berada di kawasan pemukiman warga, yakni menipisnya sumber makanan hewan pemakan daging itu. Jika hal itu terjadi, jelas Irvan, ini menjadi ancaman yang begitu serius. Karena dalam kondisi lapar, para predator ini bisa saja memasuki kawasan permukiman warga.
Namun ia juga berpendapat jika hal itu seyogyanya dapat diketahui dengan melihat kebiasaan satwa tersebut dan dilakukan penelitian oleh instansi terkait dalam hal ini BKSDA, untuk konservasi atau upaya antisipasi.
Bila tidak segera diantisipasi, kemungkinan besar jatuhnya korban akan terus bertambah. Berbagai langkah dapat dilakukan masyarakat maupun pemerintah. Baik melakukan aksi penangkaran maupun aksi eksploitasi sebagai sumber ekonomi warga.
Kendati begitu, sebelum melakukan aksi tersebut masyarakat terlebih dahulu harus mengetahui, apakah jenis buaya dimaksud dilindungi atau tidak. Apabila dilindungi, hal yang paling memungkinkan dilakukan adalah melakukan penakaran. Jika sebaliknya, masyarakat dapat melakukan eksploitasi dengan menangkap dan menjual kulit buaya dimaksud.
“Tapi kita harus tahu juga, apakah populasi mereka ini memang sudah terlalu banyak atau tidak? Kalau memang banyak, pemerintah tidak akan melarang bagi warga yang akan melakukan eksploitasi. Selama itu bukan hewan yang dilindungi loh yah,” jelas Irvan.
Populasi buaya di sepanjang Sungai Tenggaruk dan Sungai Salongan di Kecamatan Sebuku yang diperkirakan mencapai ratusan ekor, kini menjadi ancaman keselamatan bagi warga di daerah tersebut khususnya bagi mereka yang bermukim di bibir sungai.
Bukan hanya di Sebuku, ancaman itu juga kini menjadi kegelisahan bagi warga di Nunukan yang mayoritas beraktivitas di laut maupun sungai. (*)